Kamis, 22 Maret 2012

Apa Kata Mereka tentang Buku API SEJARAH

API SEJARAH jilid 1 dan 2, merupakan karya Prof KH Ahmad Mansur Suryanegara, seorang sejarawan dan pengajar di Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Universitas Padjajaran Bandung, Universitas Islam Bandung, dan Universitas Islam Nusantara Bandung.



Buku API SEJARAH diterbitkan Salamadani Publishing Bandung dan termasuk bestseller. Proses penyuntinganya dilakukan dua editor andal: Ahmad Sahidin dan Salman Iskandar; yang keduanya pernah dibimbing pakar penerbitan Bambang Trim.



Sejak diluncurkan ke tengah publik, API SEJARAH banyak menuai respon dan kritik yang bersifat teknis maupun akademis dari berbagai kalangan. Semua itu oleh penulisnya dijawab dari seminar dan bedah buku dari mulai kampus, redaksi koran nasional, pameran buku, masjid besar, instansi pemerintah, bahkan dialog dalam dunia maya pun dilakoni.



Bahkan, penulisnya—meski berusia sepuh—kerap menyambangi kota-kota besar di Indonesia hanya untuk memuaskan para pembaca dan lembaga yang mengundangnya untuk bedah buku.



Hasilnya, selain menjadi buku bestseller, API SEJARAH meraih penghargaan sebagai buku non fiksi terbaik versi IKAPI DKI Jakarta. Bravo Pak Mansur!! [ahsa, pembaca buku]





BERIKUT INI BEBERAPA KOMENTAR DARI PUBLIK TENTANG API SEJARAH:



“Buku yang seharusnya menggugah kesadaran berbangsa pada pangkalnya… Prof. Mansur telah mendudukkan sejarah sungguh sebagai sejarah: bukan hanya catatan peristiwa masa lalu, melainkan peristiwanya itu sendiri. HISTORIA VITAE MAGISTRA itulah yang dipertahankan guru besar yang selalu saya kagumi ini.” (N.Syamsuddin Ch.Haesy, kolumnis dan pegiat pemberdayaan masyarakat)

“Sejarah memang sarat dengan kepentingan. Itu sebabnya, banyak manipulasi di dalamnya. Sayangnya, kesadaran sejarah di kalangan Umat Islam sangat rendah. Padahal, dahulu kita memiliki sejarahwan-sejarahwan unggul: Thabari, Mas’udi, Ibn Hisyam, Ibn al-Atsir, Ibn Khaldun, dan masih banyak lagi. Karena itu, buku yang ditulis Prof. Mansur sangat berharga untuk menjernihkan sejarah. Semoga banyak lagi sejarahwan Islam yang memiliki kepedulian seperti Prof. Mansur.” (Afif Muhammad, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

“Sejarah adalah pohon dan pohon yang tumbuh di hutan belantara tetapi punya identitas, sering orang yang tidak seidentitas mau memahami pohon tersebut, akhirnya yang dipahami adalah cabang dan rantingnya, seangkan inti batangnya tidak, sejarah harus diakhronik tidak cukup dengan sinkronik, bukan begitu guruku?” (Aam Abdillah, Dosen Sejarah di UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

“Prof. Mansur Suryanegara adalah seorang sejarawan simbolis. Ia seorang pembaca fakta simbol yang handal yang tak ada duanya di kalangan sejarawan, bahkan di seluruh dunia. Fakta sejarah di tangannya menjadi berwarna, unik, hidup, menunjukkan sisi-sisi yang tak terbaca dari sebuah fakta dan oleh karenanya sering mengejutkan. Ini yang tidak dimiliki para sejarawan lain. Sebagai pembaca simbol, ia sangat peka dengan fakat-fakta historis dan menangkapnya secara simbolik. Tapi, ini menghadirkan risiko. Bacaannya menjadi sering tak dimengerti oleh kalangan sejarawan konvensional. Buku dahsyat ini, tentu sangat historis dan berbasis tradisi ilmiah. Tapi, oleh Pak Mansur, dilengkapi dan dihidupkan dengan tatapan simbolik tersebut, menjadikannya menjadi enak dibaca, perlu bahkan wajib bagi yang ingin sejarah Indonesia sesungguhnya. Ala kulli hal, saya tahu, buku ini disuguhkan dengan penuh takzim oleh beliau kepada segmentasi masyarakat yang sangat dihormatinya; Ulama. Untuk merekalah mahakarya ini didedikasikan. Generasi pembawa risalah nubuwah yang membawa pencerahan masyarakat melalui kebenaran dan spiritual enlightenment!” (Moeflich Hasbullah, Sejarawan dan Mantan Ketua Jurusan Sejarah Perdaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

“Alhamdulillah, Kang Mansur yang sudah saya kenal sejak 82-an kini sudah melahirkan buku tentang sejarah versi beliau. Saya yakin-meski belum baca-dalam bukunya itu terdapat materi-materi yang senantiasa belaiu sampaikan dalam kuliah-kuliah LMD ata SII di Masjid Salman, ITB dan tempat lain. Tentang, betapa ummat Islam Indonesia menduduki peran yang penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Bahkan, peristiwa-peristiwa penting sejarah bangsa Indonesia dimulai dengan gerakan-gerakan dari kalangan Islam, khususnya pesantren dengan para kiyainya, semisal pemberontakan Cimareme, Garut yang mengawali perlawanan terhadap Belanda, khususnya di Jabar atau pemberontakan K.H. Zainal Mustofa di Singaparna yang mengilhami Supriyadi di Blitar untuk memberontak terhadap Jepang. Selamat pak Mansur, gaya penyampaian lisan materi sejarah Anda akan selalu saya kenang dan buku Anda ini merupakan sumbangan besar terhadap khasanah sejarah Islam di Indonesia dan tetunya sejarah Indonesia.” (Oman Abdurahman, Ahli Geologi dan Pegiat Kajian Sunda)

“Mungkin adalah sebuah referensi baru, dan bahkan gebrakan pembenar dari suatu kesalahan akut yang mungkin terjadi. Namun disisi lain, informasi dari sinopsis yang seolah berusaha membuka fakta tentang jungkir balik keadaan sebenarnya tanpa dukungan dari sejarawan lain (bahkan bertentangan) akan menjadi sekadar teriakan kaum minor sakit hati saja, sebab sebagaimana telah berlaku bahwa unus testis nulus testis. Betul, apalagi tak terkira jasanya bila catatan pembenar sejarah mampu meluruskan yang bengkok, memberikan penghormatan layak pada pelaku sejarah, dan mencabut bintang dari dada pihak yang tidak pantas mendapatkannya. Namun, jika hanya dari satu saja ahli sejarah, walaupun beliau dianggap memiliki kapasitas seperti itu akan tetap saja bagi sebagian pihak lain merupakan suatu langkah tendensius yang subyektif. Semoga ada sejarawan lain yang dapat mendukung informasi serupa.” (wafiq_ugm@yahoo.com)

“Saya termasuk yang mengagumi sosok sejarawan mumpuni yang satu ini, selain Pak Anhar Gonggong. Dan darinya tidak jarang keluar fakta sejarah yang berbeda kalau tidak bertentangan dengan yang versi ‘resmi’ pemerintah. Tidak ada yang namanya kalangan minor yang sakit hati, selain dugaan dan sangkaan saja karena memang sejarawan itu ada dua; sebagaimana juga profesi lainnya, yang objektif apa adanya dan tidak bisa dibeli dan yang lawannya…” (lasykarlima@gmail.com)

Ahmad Sahidin

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda