Jumat, 30 Maret 2012

Berlayar Sampai Madagaskar

Para penjelajah bahari Nusantari berlayar hingga Madagaskar. Para tokoh bangsa pun sempat membayangkan Republik Indonesia terbentang sampai ke sana.

ORANG Indonesia adalah nenek moyang penduduk Madagaskar, demikian penelitian teranyar yang dimuat dalam jurnal Proceedings of the Royal Society B, 21 Maret lalu. Ahli biologi molekuler Universitas Massey Selandia Baru, Murray Cox, memimpin penelitian untuk menganalisis DNA mitokondria yang diturunkan lewat ibu dari 2.745 orang Indonesia yang berasal dari 12 kepulauan dengan 266 orang dari tiga etnis Madagaskar (Malagasi): Mikea, Vezo, dan Andriana Merina.


Menurut Cox, seperti dikutip The Australian (21/3), hasil riset tersebut menyimpulkan bahwa sekira 30 orang perempuan Indonesia menjadi pendiri dari koloni Madagaskar 1.200 tahun silam. Mereka disertai beberapa lelaki yang jumlahnya lebih sedikit.

Penelitian DNA ini memperkuat penelitian-penelitian sebelumnya. Secara arkeologis dibuktikan dengan temuan perahu bercadik ganda, peralatan besi, alat musik xylophone atau gambang, dan makanan tropis seperti tanaman ubi jalar, pisang, dan talas.


Dari sisi linguistik, kebanyakan leksikon penduduk Madagaskar berasal dari bahasa Ma’anyan yang digunakan di daerah lembah Sungai Barito di tenggara Kalimantan, dengan beberapa tambahan dari bahasa Jawa, Melayu, atau Sanskerta. Menurut Robert Dick-Read dalam Penjelajah Bahari, kemiripan ini kali pertama dikemukakan misionaris-cum-linguis Norwegia Otto Dahl pada 1929 setelah meneliti kamus Ma’anyan karya C. Den Homer (1889) dan karya Sidney H. Ray (1913). “Tapi, kita harus melihat lebih teliti lagi sebab asal-usul Ma’anyan masih diperdebatkan,” tulis Dick-Read.



Anehnya, Dahl sendiri menyebut kemiripan itu tak memecahkan semua misteri bahasa Malgache (Malagasi). Sebab, terdapat beberapa unsur dalam Malgache yang mengarah ke Celebes (Sulawesi), terutama suku Bajo dan Bugis yang dikenal sebagai pelaut ulung. “Nenek moyang dari suku-suku inilah yang kemungkinan besar adalah para pelaut Indonesia yang telah berhasil menjelajah lautan hingga ke Afrika,” tulis Dick-Read.


Bahkan, tak hanya ketiga suku tersebut. Menurut S. Tasrif dalam Pasang Surut Kerajaan Merina, “mereka kemungkinan campuran dari ras Sumatra, Jawa, Madura, Sulawesi, atau orang-orang Indonesia Timur. Di sana, mereka berbaur membangun kebudayaan Malagasi. Para pendatang itu kemudian dominan di Madagaskar, karena penduduk aslinya sangat sedikit. Di kemudian hari, datang pendatang baru dari Arab, Pakistan, India, dan orang-orang Prancis yang membawa buruh-buruh Afrika hitam. Jadilah Madagaskar sebuah negeri multiras,” demikian dikutip Tempo, 21 September 1991.



Senada dengan pendapat Tasrif, ahli sejarah Afrika, Raymond Kent, dalam Early Kingdoms in Madagascar 1500-1700, menyimpulkan, “... pasti telah terjadi pergerakan manusia dalam jumlah besar yang datang secara sukarela dan bertahap dari Indonesia pada abad-abad permulaan milenium pertama. Sebuah pergerakan yang dalam istilah Malagasi kuno disebut lakato (pelaut sejati) karena mereka tidak berasal dari satu etnis tertentu.”


Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa, intelektual pertama yang membahas hubungan Nusantara dan Madagaskar adalah Moh. Nazif yang menulis disertasi De Val van het Rijk Merina pada 1928 di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Adanya hubungan Indonesia dengan Madagaskar kemudian digunakan sebagai “politik kesatuan” oleh beberapa tokoh bangsa sejak 1920-an.

Pada peresmian Lembaga Pertahanan Nasional di Istana Negara, Jakarta, 20 Mei 1965, Sukarno, merujuk karya Nazif, mengemukakan: “...bangsa Indonesia itu adalah sebenarnya qua ras inter related dengan bangsa-bangsa yang mendiami Kepulauan Pasifik, Indocina, sampai Madagaskar.” Dalam beberapa kesempatan Sukarno kerap menyebut andil Indonesia dalam terbentuknya Madagaskar.

Dalam sambutan Kongres Indonesia Muda pertama tahun 1930, dikutip R.E. Elson dalam The Idea of Indonesia, tokoh pergerakan Kuncoro Purbopranoto mengatakan, “Indonesia merupakan satu negeri, dengan satu bangsa, dari Madagaskar hingga Filipina, dengan satu sejarah, sejarah Sriwijaya dan Majapahit...”


Tan Malaka setali tiga uang. Dalam Madilog, keyakinan Tan akan para pelaut Nusantara yang menjelajah hingga Madagaskar membuatnya memimpikan Republik Indonesia Raya sampai Madagaskar. “Tan Malaka dulu membayangkan wilayah Republik Indonesia Raya merdeka itu akan terbentang dari Pulau Madagaskar melintasi seluruh semenanjung Melayu, kepulauan Filipina, seluruh Hindia Belanda, termasuk Timtim sampai ke ujung Timur Papua,” tulis Sultan Hamengku Buwono X dalam Merajut Kembali Keindonesiaan Kita.



Saking penasaran, Mohammad Yamin sampai pergi ke Madagaskar pada 1957. “Di Pulau Madagaskar bangsa Indonesia berkuasa mendirikan kerajaan Merina, yang diruntuhkan oleh tentara Prancis dalam tahun 1896, dan sampai kepada kerajaan ini tidaklah terkenal Konstitusi yang dituliskan,” tulis Yamin dalam Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia.


Namun, menurut Dick-Read, Merina yang merupakan penduduk mayoritas di Madagaskar, berasal dari nenek moyang berdarah campuran yang bermigrasi pada permulaan abad ke-16, yakni kaum Anteimoro yang kemungkinan berasal dari dataran tinggi Ethiopia bagian selatan dan kaum Hova.


“Besar kemungkinan bahwa kaum Hova merepresentasikan satu-satunya unsur Indonesia murni di Madagaskar,” tulis Raymond Kent.


Hubungan Indonesia-Madagaskar lebih terang dilihat dari bahasa. Yamin, tulisan Lombard, senang mencari persamaan antara bahasa-bahasa di Indonesia dan Malagasi. Yamin menyontohkan, “kerajaan Indonesia di Madagaskar yang telah dijadikan museum namanya: Rua. Perkataan Indonesianya: ruang, balairung.”


Contoh lain, “sebutan untuk bilangan dua, tiga, empat, lima. Dalam bahasa Malagasi disebut rua, telu, efat, dan limi. Ini mirip ucapan bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, dan Bali,” tulis Tempo, 21 September 1991. “Lalu kata anak, mati, padi, dan tembok. Dalam bahasa Malagasi disebut anaka, maty, pary, dan tambuk.”



Atau “tenko dan baratang, bahasa Makassar untuk cadik dan tiang/galah cadik; dalam bahasa Malagasi disebut tengo dan baratengo,” tulis Dick-Read.


Marcopolo-lah yang menamai Madagaskar pada akhir abad ke-13. Dia menuliskannya Magaskar. Dia sendiri tak mengunjungi pulau itu. Gambaran pulau itu dia peroleh dari para pedagang Arab. Karena itu, menurut Dick-Read, dia keliru menyebut pulau itu subur, banyak gajah dan singa, dan makanan utama penduduknya daging unta.


Menurut Dick-Read, jika melihat kesejajaran kata Bajun (istilah setempat untuk orang di atas perahu) dengan Bajoo dan Manda (pulau yang dihuni oleh suku Bajun di Afrika Timur) dengan Mandar, “tidakkah cukup beralasan bila kita berpendapat bahwa kata Madagaskar memiliki hubungan dengan suku bangsa pelaut lain di Sulawesi, yang terkait dengan suku Bugis, Bajo, dan Manda –Makassar?”

HENDRI F. ISNAENI

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda