Melihat Jejak-jejak Rumi di Konya
Delapan belas ribu tahun yang lalu, Konya tak ubahnya Bandung di masa purba -- hanyalah sebuah cekungan raksasa di dataran tinggi yang tergenang air. Baru pada 10 ribu tahun yang lalu, cekungan ini kering dan menjadi daratan yang subur berbatas hutan-hutan di pinggirannya. Dan 700 tahun lalu, lahirlah di sini sebuah kelompok tasawuf terkemuka.
Terletak di pusat Anatolia, wilayah Turki bagian Asia, Konya telah dikenal sebagai kota internasional sejak abad ke-2 masehi. Orang-orang Roma, pendiri kota ini, menyebutnya Iconium. Berabad-abad orang-orang lalu-lalang di kota ini. Tapi keharuman Konya baru semerbak pada abad ke-13, di tengah masa kejayaan Suku Seljuk, Turki.
Adalah Jalaluddin Rumi yang membuat kota ini jadi amat terkenal, bahkan kini dikunjungi satu juta peziarah muslim setiap tahun. Di sinilah tokoh terkemuka dalam tasawuf dan kesusastraan itu menghabiskan sebagian besar usianya hingga wafat.
Tak pelak, tempat paling penting untuk dikunjungi di Konya adalah mausoleum Rumi, yang kini menjadi museum. Tempat inilah yang kini menjadi merek dagang kota, dan tempat pertunjukan tarian Samaa atau Whirling Dervishes --karena para Darwis penarinya bergerak melingkar-lingkar-- yang terkenal itu, pada setiap 17 Desember.
Terletak di pusat kota, dari kejauhan keanggunan mausoleum itu sudah tampak. Sebuah kerucut hijau besar menghiasi atap gedung tua itu, seakan bersaing dengan kubah dan menara masjid yang tegak di sebelahnya. Kerucut itulah ciri khas bangunan Rumi. Dan di bawah kerucut itulah tepat terletak makam sufi dan sastrawan besar Persia itu. Berdampingan dengan makam Rumi, terdapat makam Sultan Walad, anak sulung Rumi yang mengembangkan orde sufi Whirling Dervishes.
Museum itu kecil saja. Mungkin untuk saat ini kehadirannya agak tersaingi oleh masjid di sebelahnya yang dibangun arsitek terkemuka Turki Ottoman (Usmaniyah, red), yaitu Sinan, pada masa pemerintahan Sultan Salim II, abad ke-16.
Bangunan itu sendiri baru menjadi museum pada 1926 dan kemudian kembali menjadi pusat kegiatan Whirling Dervishes. Sebelumnya, tempat ini sempat mengalami masa muram ketika Musthafa Kemal, bapak westernisasi Turki, melarang kegiatan kelompok sufi itu.
Sebelum memasuki ruang makam, setelah memasuki pintu utama, pengunjung akan langsung bertemu sebuah taman berhias kolam. Itulah simbol dari Malam Penyatuan --Rumi menyebut kematiannya sebagai saat penyatuan diri dengan Tuhan. Di taman itu pula, tarian Samaa dipertunjukkan setiap 17 Desember untuk memperingati hari kematian Rumi.
Puluhan, bahkan ratusan orang berkerumun di taman itu, bahkan saat tarian spiritual itu tidak dipergelarkan. Anak-anak Turki tampak berkumpul di sudut-sudut taman, mendengarkan dengan seksama penjelasan guru-guru mereka. Sejumlah orang asing, dari negara Islam ataupun bukan, pun asyik mendengarkan riwayat Rumi dari para pemandu wisata mereka.
Sesaat akan memasuki ruang utama makam, pengunjung berada pada sebuah ruangan yang biasa dipakai para sufi untuk membaca Alquran. Sejumlah karya kaligrafi terkemuka ditampilkan di ruangan ini. Di sini pula dipamerkan manuskrip-manuskrip Rumi dan berbagai artefak yang berkaitan dengan kegiatan tasawufnya.
Pada ruangan makam, di bagian kanan, terdapat 55 makam dari keluarga dan pengikut Rumi. Tepat di bawah sebuah atap kerucut hijau, terdapat dua makam dari marmer biru. Itulah makam Rumi dan anaknya, Sultan Walad. Kedua makam dibuat pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman. Orang-orang tampak menengadahkan tangan, berdoa bagi sang 'Maulana'.
Makam bermarmer biru itu tidak telanjang, tapi ditutupi kain yang berhiaskan ayat-ayat suci Alquran dalam bordiran benang emas. Kain itu merupakan hadiah dari Sultan Abdulhamid II pada 1894. Masih terhubung dengan ruangan makam, terdapat pula Samaahane. Secara resmi, sebagai bagian dari kegiatan tasawuf, di sinilah tarian Samaa ditampilkan. Pada ruangan yang sama, disediakan pula tempat untuk para pemusik. Saat ini, sejumlah alat musik yang biasa dipakai pada tarian Samaa, dipamerkan di ruangan itu, antara lain berupa rebab dan tambur.
Juga beberapa pakaian Rumi disimpan di ruangan yang sama. Bangunan makam Rumi kini juga dilengkapi masjid kecil yang dibangun Sultan Sulaiman. Sejumlah karya kaligrafi bernilai tinggi juga tersimpan di masjid kecil ini.
Di masjid yang sama terdapat pula karpet sutra -- karya khas Turki yang terkenal. Salah satu karpet itu dibuat dengan kepadatan 144 titik benang setiap senti. Meski tak jelas nilai pastinya, konon karpet itu adalah salah satu karpet termahal di dunia.
Arys Hilman Nugraha (wartawan Republika)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda