Minggu, 11 Maret 2012

PENELITIAN CANDI RAJEGWESI DI KABUPATEN CIAMIS

Rekonstruksi Bentuk dan Hubungannya Dengan Tinggalan Arkeologis di Sekitarnya

PENDAHULUAN

Di daerah Kabupaten Ciamis sekarang, pada masa lalu pernah berdiri kerajaan Sunda Galuh dan Kawali. Menurut Carita Parahyangan kerajaan Galuh mula-mula diperintah oleh Raja Sěna. Pada suatu ketika Galuh diserang oleh Rahyang Purbasora. Ketika Sanjaya dewasa dapat merebut kembali dan berkuasa di Galuh (Sumadio, 1990: 357-358). Sedangkan keterangan mengenai kerajaan Kawali terdapat di dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian dan beberapa prasasti yang terdapat di situs Astanagede. Prasati Kawali yang ditemukan hingga saat ini berjumlah enam yang semuanya dipahatkan pada batu alam. Keenam prasasti tersebut ditulis dengan aksara dan huruf Sunda Kuna. Berdasarkan paleografisnya diperkirakan berasal dari abad XIV M (Nastiti, 1996). Dari semua prasasti yang ada di situs Astanagede dapat diperoleh keterangan bahwa Prabu Raja Wastu yang bertahta di kota Kawali dengan kratonnya bernama Surawisesa, telah membuat selokan di sekeliling kraton. Di samping itu juga mendirikan desa-desa dan mengharapkan agar masyarakat pendatang juga berbuat kebajikan agar hidup lama dan berbahagia di dunia (Sumadio, 1990: 365).


Latar belakang keagamaan kerajaan Sunda menurut Carita Parahyangan jelas sekali menunjukkan semangat kehinduan. Pada naskah Sewakadarma yang juga disebut Serat Dewabuda pun terdapat nama-nama dewa agama Hindu seperti Brahma, Wisnu, Maheswara, Rudra, Sadasiwa, Yama, Baruna, Kuwera, Indra, Besrawaka, dan lain-lain. Pada naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian semangat kehinduan masih jelas tetapi pada waktu itu antara Hindu, Buddha, dan unsur asli sudah luluh menjadi agama baru. Dengan demikian kehidupan keagamaan masyarakat Sunda bercorak Hindu Buddha yang telah berbaur dengan unsur agama leluhur (Sumadio, 1990: 391-392).


Pada masa itu bangunan-bangunan suci sebagai sarana peribadatan dikenal dengan istilah kabuyutan. Dalam Carita Parahyangan terdapat kalimat … nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan tina parahyangan … Kabuyutan merupakan persemayaman para leluhur yang telah meninggal dunia (hyang). Istilah kabuyutan dalam masyarakat Sunda Kuna mengacu pada tempat atau struktur bangunan tertentu yang berbeda dengan bangunan-bangunan suci pada umumnya masyarakat Jawa Kuna (Munandar, 1992). Pada hakekatnya bangunan kabuyutan dapat disejajarkan dengan candi yang umum dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Komplek kabuyutan di Jawa Barat misalnya dapat dijumpai di situs Astanagede, Kawali dan komplek Karangkamulyan.


Secara fisik konsep kabuyutan dilatari sistem religi pada masa itu. Pada awalnya, keagamaan yang melatari kerajaan Sunda adalah Hindu. Dalam perkembangannya agama Hindu bercampur dengan agama Buddha, dan pada akhirnya unsur kepercayaan asli muncul. Sistem religi yang demikian itu, dalam ekspresi bangunan suci dimunculkan dalam bentuk bangunan berundak yang juga diwarnai ciri-ciri klasik seperti adanya lingga, yoni, nandi, serta arca dewa.


Meskipun bangunan kabuyutan lebih akrab dengan masa klasik Jawa Barat tetapi tidak berarti bangunan candi sebagaimana di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak dijumpai di Jawa Barat. Penelitian yang pernah dilakukan di kawasan timur Jawa Barat telah menemukan bangunan candi. Pada tahun 1977 dan dilanjutkan tahun 1983 Bidang Arkeologi Klasik Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) mengadakan ekskavasi di situs Candi Ronggeng, Desa Sukajaya, Kec. Pamarican. Hasil ekskavasi menunjukkan adanya struktur bangunan candi pada kedalaman sekitar 60 – 140 cm. Candi tersebut terbuat dari bahan batu. Secara religius berlatarkan Hinduistis (Tim Penelitian Arkeologi, 1983: 18 – 22). Selain itu Puslit Arkenas juga pernah melakukan ekskavasi di situs Batu Kalde, Semenanjung Pangandaran. Dalam ekskavasi itu berhasil menemukan indikator bangunan candi berupa yoni, balok-balok batu, bingkai padma, batu-batu bulat, batu berpelipit, dan arca nandi (Ferdinandus, 1990).


Peninjauan yang dilakukan Balai Arkeologi Bandung pada bulan Juni 1997 di Dusun Pananjung, Kec. Pataruman, Kab. Ciamis menjumpai adanya lokasi pada tepi S. Citanduy yang oleh masyarakat setempat disebut Rajegwesi. Lokasi tersebut berupa gundukan tanah yang pada beberapa tempat dijumpai adanya serakan bata kuna. Tidak jauh dari lokasi itu terdapat fragmen yoni. Adanya tinggalan arkeologis tersebut diduga dahulu merupakan bangunan candi yang bahannya bata. Untuk sementara objek ini disebut candi Rajegwesi. (Djubiantono dkk, 1997/1998). Pada bulan April-Mei 1998 yang lalu Puslit Arkenas juga telah mengadakan peninjauan yoni tersebut (Ferdinandus, 1998).


Tidak jauh dari lokasi candi Rajegwesi yaitu di Dusun Cipadung, Desa Purwaraharja, Kec. Cisaga pada tanggal 31 Juli 1982 dilaporkan adanya penemuan prasasti. Pada saat sekarang prasasti tersebut disimpan di Museum Negeri Jawa Barat “Sri Baduga” (Tim Penelitian Arkeologi, 1983: 17). Inventarisasi tinggalan arkeologis yang dilakukan Krom (1915) di daerah ini mencatat beberapa objek arkeologis antara lain di kampung Warung Buah, Banjar yaitu di tepi jalan yang menghubungkan Manonjaya dengan Banjar terdapat patung gajah. Di puncak G. Indaraja, Ciparay terdapat yoni, lingga, dan ganesa. Dari beberapa tinggalan yang pernah dilaporkan menunjukkan bahwa pengaruh Hindu pernah berlangsung di daerah tersebut.


Beberapa sumber yang ada menunjukkan bahwa bangunan suci masa klasik di daerah Ciamis kebanyakan berupa kabuyutan. Bangunan kabuyutan biasanya berbentuk seperti bangunan megalitik dan bahannya dari batu tanpa pengerjaan. Kasus di Pananjung, desa Mulyasari memperlihatkan bahwa bangunan candi Rajegwesi dari bahan bata. Perbedaan bahan bangunan memberi gambaran pula mengenai adanya perbedaan bentuk bangunan. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan berusaha mengungkap bentuk bangunan. Bentuk bangunan dimaksud meliputi denah, arah hadap, dan kemungkinan rekonstruksi bentuk utuh bangunan. Mengingat antara lokasi situs Rajegwesi berdekatan dengan lokasi penemuan prasasti, dalam penelitian ini juga akan dicari kemungkinan adanya hubungan antara candi dengan prasasti.


Untuk mencapai tujuan sebagaimana tersebut di atas, akan diterapkan tipe penelitian deskrip­tif dengan mengikuti pola penalaran induktif. Tahapan penelitian meliputi observasi, deskripsi, dan interpretasi (Deetz, 1967). Pada tahap observasi, pengumpulan data dilaksanakan melalui survei permukaan dan ekskavasi. Survei permukaan dimaksudkan untuk mengumpulkan data secara horisontal, sedangkan ekskavasi untuk mencari data secara vertikal (Renfrew & Bahn, 1991). Survei dan ekskavasi itu diikuti dengan pendeskripsian data. Dari hasil pendeskripsian kemudian dilakukan analisis baik artefaktual maupun non artefaktual. Berdasarkan gambaran hasil pendeskripsian dan analisis data kemudian dilakukan interpretasi.



PROSES DAN HASIL PENELITIAN


Proses Penelitian

Penelitian situs Rajegwesi dilaksanakan dalam bentuk survei dan ekskavasi. Survei dilakukan di sekitar lokasi candi Rajegwesi dengan tujuan untuk menentukan lokasi yang mengandung data baik arkeologis maupun non arkeologis yang berpotensi bagi pengembangan penelitian lebih lanjut. Selain itu juga dilakukan observasi terhadap data/benda arkeologis yang berhubungan atau diduga berhubungan dengan candi Rajegwesi. Objek yang dimaksud yaitu frgamen yoni yang ditemukan penduduk dan prasasti dari Cisaga yang sekarang disimpan di Museum Negeri Jawa Barat “Sri Baduga”.


Dalam kegiatan survei dilakukan pengamatan dan pendeskripsian langsung terhadap objek arkeologis yang ada. Selain itu juga dilakukan pencarian penjelasan mengenai lokasi penemuan dan proses penemuannya. Untuk melengkapi data dilakukan wawancara dengan masyarakat setempat yang mengetahui latar belakang daerah tersebut. Wawancara ini dimaksudkan untuk mendapatkan data etno-histori.


Ekskavasi dimaksudkan untuk mendapatkan data secara vertikal. Melalui ekskavasi dapat diperoleh data yang terdapat di dalam tanah. Dalam kegiatan ini telah dilakukan pembukaan tiga kotak gali. Penentuan posisi kotak gali selain dari hasil pengamatan intensif di lokasi bangunan candi juga berdasarkan gejala yang ada pada kotak gali terdahulu.


Masing-masing kotak gali dibuat dengan ukuran 2 X 2 m. Pembukaan kotak dilakukan dengan teknik spit berinterval 20 cm. Khusus untuk spit 1 dengan kedalaman 20 cm dari titik terendah. Titik nol (datum point) ditentukan dengan menambahkan 15 cm pada salah satu titik sudut atau sisi.


Ekskavasi dimulai dengan membuka kotak LU I. Kotak ini terletak di sisi timur runtuhan bangunan. Lokasi ini dipilih karena berdasarkan pengamatan diduga masih ada runtuhan bangunan yang tersimpan di bawah permukaan. Dengan membuka kotak ini diharapkan dapat ditemukan sisi timur bangunan. Berdasarkan gejala yang terdapat di kotak LU I kemudian dilanjutkan dengan membuka kotak LU II. Kotak ini berada di sebelah utara kotak LU I berselang 2 m. Tujuan pembukaan kotak untuk mendapatkan sudut timur laut bangunan. Selanjutnya dibuka kotak LU III yang berada di sebelah baratdaya kotak LU I. Dari pembukaan kotak ini diharapkan dapat ditemukan sudut tenggara bangunan.



Hasil Penelitian


Gambaran Umum Lokasi

Situs Rajegwesi secara administratif termasuk di dalam wilayah Dusun Pananjung, Desa Mulyasari, Kec. Pataruman, Kotif Banjar, Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat. Lokasi berada pada areal perkebunan milik PTP Nusantara VIII, Kebun Batulawang, Afdeeling Mandalareh. Secara geografis berada pada posisi 108°35’28” BT dan 7°20’54” LS (berdasarkan peta topografi daerah Banjar lembar 4720-IV).


Bekas bangunan candi berada di sebuah gundukan tanah pada kelokan sungai sebelah selatan Citanduy. Gundukan tanah ini tingginya sekitar 7 m dari lahan sekitar dengan diameter sekitar 70 m. Di sebelah barat candi Rajegwesi berjarak lurus 1500 m, merupakan pertemuan antara sungai Cijulang dan Citanduy. Sekitar lokasi situs berupa lahan perkebunan karet dan kebun palawija.


Geomorfologi kawasan situs secara umum merupakan pedataran bergelombang dengan ketinggian antara 10 hingga 100 m di atas permukaan laut. Beberapa bukit dengan ketinggian sekitar 100 m terdapat di daerah ini. Bukit-bukit tersebut antara lain pasir Lanang, pasir Gede, pasir Pangrampogan, pasir Panenjoan, pasir Cicangkorek, pasir Peuteuy, pasir Mandalare,dan pasir Panji. Di antara perbukitan tersebut Citanduy mengalir (berdasarkan peta topografi daerah Banjar lembar 4720-IV).



Kondisi lingkungan Candi Rajegwesi


Deskripsi Hasil Survei


a. Situs Rajegwesi

Puncak bukit di mana terdapat runtuhan bangunan candi ditumbuhi beberapa pohon besar antara lain beringin, serut, dan kopo (semacam jambu air). Berdasarkan pengamatan secara megaskopis, kondisi geologis bukit di mana candi Rajegwesi berada merupakan intrusi (terobosan) batuan beku. Candi itu sendiri tepat pada puncak intrusi. Singkapan batuan beku juga kedapatan di tepi Citanduy dan pada lahan perkebunan yang terdapat di sebelah barat candi.


Pengamatan terhadap data arkeologis yang dilakukan, menunjukkan adanya sebaran bata yang sudah tidak terstruktur karena terangkat akar pohon. Bata tersebut terpusat pada puncak bukit dengan radius 8 m. Hampir semua bata dalam keadaan tidak utuh. Satu-satunya bata utuh yang ditemukan berukuran panjang 30 cm, lebar 20 cm, dan tebal 7 cm. Selain bata juga terdapat batu andesitik dan tufa. Keadaan yang ada sekarang di tengah sebaran bata tersebut terdapat kumpulan batu dan bata yang bentuknya seperti jirat makam dengan orientasi utara-selatan. “Makam” tersebut berukuran panjang 170 cm, lebar 90 cm, dan tinggi 40 cm. Di sebelah timur “makam” pada sisi talud terdapat dua buah batu datar yang disusun seperti altar. Pengamatan pada permukaan tanah sekitarnya tidak ditemukan adanya artefak lainnya.


Mengenai nama Rajegwesi menurut keterangan penduduk dahulu di lokasi tersebut terdapat besi berjajar yang tertancap di tepi sungai. Asal-usul besi tersebut secara pasti tidak diketahui. Ada yang mengatakan sebagai penahan erosi, tetapi ada juga yang menceritakan bekas perahu yang tenggelam. Besi-besi tersebut sekarang sudah tidak tersisa lagi. Menurut penuturan salah seorang penduduk, pada sekitar tahun 1945-an bukit tersebut belum ditumbuhi pohon besar. Dahulu hanya ada batu panjang yang tertancap dan bata-bata besar seperti yang ada sekarang tidak tampak. Pada tahun 1960-an sudah ada pohon dan bata bata besar mulai terlihat. Batu panjang yang dahulu tertancap sudah tidak ada.


Keterangan yang diberikan oleh Bp. Marto yang sekarang mengurus lokasi tersebut (juru kunci), pada sekitar tahun 1960-an yang terlihat hanya bata-bata besar. Karena banyak yang datang untuk berziarah kemudian batu dan bata yang ada dibentuk menyerupai jirat makam. Akhirnya masyarakat menyebut bahwa lokasi itu sebagai makam Prabu Songsong.


b. Yoni

Pada komplek makam di dekat pemukiman peduduk terdapat fragmen yoni. Menurut keterangan, pada tahun 1955 hari Jumat Kliwon sekitar pukul 08.00 (tanggal dan bulannya sudah tidak dapat dipastikan) Bp. Wijatna, selaku juru kunci Rajeg Wesi ketika itu, dengan dibantu tiga orang anaknya menggali bukit “Gunung Leutik” yang berada di sebelah selatan Rajeg Wesi. Pada kedalaman sekitar 0,5 m menemukan 4 buah batu yang dianggap sebagai 3 buah kursi batu dan sebuah meja batu. Masyarakat mempercayai bahwa tinggalan tersebut merupakan bekas milik Ibu Ratu Galuh. Tinggalan tersebut kemudian dipindahkan ke lokasi sekarang (Idjam, 1991). Berdasarkan ciri-ciri yang ada benda tersebut adalah fragmen yoni.


Fragmen yoni yang berasal dari Gunung Leutik


Yoni terbuat dari bahan batu tufa berwarna putih. Fragmen yang ada merupakan bagian atas dengan ukuran panjang 96 cm, lebar 86 cm, dan tebal 15 cm. Lubang tempat kedudukan lingga berbentuk bujur sangkar dengan sisi 25 cm. Bagian atas ini pada salah satu sudutnya sudah pecah. Bagian cerat berukuran panjang 20 cm, lebar pangkal 20 cm, dan lebar ujung 16 cm. Selain itu juga terdapat bagian berbentuk kubus dengan ukuran 43 X 43 cm dan tebal 40 cm. Bagian ini kemungkinan merupakan bagian tubuh yoni. Di lokasi runtuhan candi juga terdapat batu tufa. Batu tersebut mungkin juga merupakan bagian yoni.



c. Prasasti

Prasasti yang ditemukan di Dusun Cipadung, Desa Purwaraharja, Kec. Cisaga sekarang disimpan di Museum Negeri Jawa Barat “Sri Baduga”. Tim dari Puslit Arkenas yang pernah meninjau lokasi penemuan tidak menjumpai kekunaan lainnya (Tim Penelitian Arkeologi, 1983: 17).

Prasasti terbuat dari batu andesitik berbentuk panjang. Pada bagian atas ada yang patah. Secara keseluruhan ukuran batu dengan panjang 70 cm, lebar antara 14 hingga 26 cm, dan tebal antara 5 hingga 10 cm. Tulisan terdiri lima baris menggunakan huruf Jawa Kuna dan bahasa Jawa Kuna. Berdasarkan isinya, prasasti ini kemudian disebut Prasasti Mandiwuna. Pembacaan yang dilakukan oleh Richadiana Kartakusuma, peneliti dari Puslit Arkenas, prasasti tersebut berisi sebagai berikut:

Transkripsi:

mâsa krsna pa(k)sa

nawami haryaŋ

pon wrhaspati wâ

ra tatkâla sîma ri

mandiwuna ……


Terjemahan:

bulan parogelap

(tanggal) 9, (paringkelan) Haryang

(pasaran) Pon, hari Kamis,

ketika itulah daerah perdikan di

Mandiwuna ……



Deskripsi Hasil Ekskavasi


a. Kotak LU I

Kotak LU I dibuka hingga akhir spit 3. Keadaan permukaan miring ke arah timur. Sebelum dibersihkan tertutup rumput. Pada awal penggalian ketinggian titik t1 (sudut baratlaut) -16,5 cm, t2 (sudut timurlaut) -43 cm, t3 (sudut tenggara) -45 cm, t4 (sudut baratdaya) -22 cm, titik a (tengah-tengah sisi utara) -17 cm, titik b (tengah-tengah sisi timur) -41 cm, titik c (tengah-tengah sisi selatan) -29 cm, titik d (tengah-tengah sisi barat) -18,5 cm, dan titik e (tengah-tengah kotak) -26 cm.[1] Datum Point ditentukan di dekat titik t1. Pada permukaan tidak ditemukan adanya artefak.


Pembukaan spit 1 keadaan tanah berupa pelapukan batuan beku berwarna coklat kekuningan bertekstur halus sampai sedang, banyak dijumpai akar. Pada spit ini terdapat konsentrasi fragmen bata di sisi barat kotak gali.Pada spit 2 pelapukan batuan beku berwarna coklat kekuningan terus berlanjut. Sebaran fragmen bata terdapat di seluruh kotak, dengan konsentrasi di sisi barat. Akar-akar terlihat di antara fragmen bata. Spit 2 diakhiri hingga kedalaman t1 43 cm, t2 61 cm, t3 62 cm, t4 33 cm, a 40 cm, b 58 cm, c 54 cm, d 29 cm, dan e 59 cm.


Penggalian dilanjutkan pada spit 3 dengan membongkar sebaran fragmen bata. Di bawah lapisan sebaran fragmen bata tersebut, pada sudut baratdaya terdapat tatanan fragmen bata sebanyak satu lapis menyerupai lantai. Pada bagian lain keadaan tanah berupa cadas (bad rock). Bagian sisi timur masih dijumpai beberapa pecahan bata. Pada pertengahan spit 3 penggalian dilanjutkan setengah kotak yaitu pada sisi timur. Keadaan tanah berwarna coklat kehitaman bertekstur halus. Penggalian pada bagian ini sudah tidak ditemukan lagi benda arkeologis. Penggalian kotak LU I diakhiri hingga kedalaman t1 78 cm, t2 80 cm, t3 75 cm, t4 35 cm, a 80 cm, b 79 cm, c 74 cm, d 61 cm, dan e 78 cm.



Sebaran fragmen bata pada kotak LU I spit 2



b. Kotak LU II

Kotak LU II dibuka hanya pada spit 1. Keadaan permukaan miring ke arah timurlaut. Pada sudut tenggara kotak gali dijumpai adanya singkapan batuan beku. Sebelum dibersihkan kotak ini tertutup rumput dan sampah daun-daun kering. Datum Point ditentukan di dekat titik t4. Pada permukaan tidak ditemukan adanya artefak.


Pada awal penggalian ketinggian titik t1 (sudut baratlaut) -36 cm, t2 (sudut timurlaut) -50 cm, t3 (sudut tenggara) -35 cm, t4 (sudut baratdaya) -17 cm, titik a (tengah-tengah sisi utara) -42 cm, titik b (tengah-tengah sisi timur) -40 cm, titik c (tengah-tengah sisi selatan) -28 cm, titik d (tengah-tengah sisi barat) -27 cm, dan titik e (tengah-tengah kotak) -34 cm.


Pembukaan spit 1 dilakukan hanya setengah kotak yaitu pada sisi barat.[2] Keadaan tanah berupa pelapukan batuan beku berwarna coklat kehitaman bertekstur halus sampai sedang, banyak dijumpai akar. Beberapa fragmen bata ditemukan terkonsentrasi pada sudut baratdaya. Pada bagian lain tidak ditemukan artefak dan benda arkeologis lainnya. Menjelang akhir spit 1 sudah dijumpai lapisan tanah cadas (bad rock). Penggalian diakhiri hingga kedalaman t1 44 cm, t4 25 cm, a 48 cm, c 44 cm, d 41 cm, dan e 46 cm.



c. Kotak LU III

Kotak LU III dibuka hingga akhir spit 2. Keadaan permukaan miring ke arah tenggara. Keadaan permukaan sebelum dibersihkan tertutup rumput dan sampah daun-daun kering. Di sudut timurlaut kotak gali terdapat tumpukan batu dan bata bekas perapian yang dibuat masyarakat.


Pada awal penggalian ketinggian titik t1 (sudut baratlaut) -22 cm, t2 (sudut timurlaut) -74 cm, t3 (sudut tenggara) -81 cm, t4 (sudut baratdaya) -75 cm, titik a (tengah-tengah sisi utara) -60 cm, titik b (tengah-tengah sisi timur) -76 cm, titik c (tengah-tengah sisi selatan) -75 cm, titik d (tengah-tengah sisi barat) -54 cm, dan titik e (tengah-tengah kotak) -70 cm. Datum Point ditentukan di dekat titik t1. Pada permukaan tidak ditemukan adanya artefak. Penggalian dilakukan setengah kotak gali yaitu di bagian selatan.


Pembukaan spit 1 banyak menemukan sebaran fragmen bata dan beberapa batu polos. Keadaan tanah bagian atas berupa humus bercampur kerikil dengan ketebalan 3 cm hingga 5 cm. Di bawah lapisan humus berupa tanah lapukan batuan beku berwarna coklat kemerahan bertekstur halus sampai kasar. Artefak dan benda arkeologis lainnya tidak ditemukan. Pembukaan spit 1 dilakukan hingga kedalaman t3 95 cm, t4 80 cm, b 90 cm, c 93 cm, d 62 cm, dan e 84 cm.


Penggalian dilanjutkan pada spit 2 dengan membongkar sebaran fragmen bata dan beberapa batu. Di bawah sebaran fragmen bata masih dijumpai fragmen bata secara sporadis terutama di sisi utara. Pada sisi selatan sudah dijumpai lapisan permukaan batuan beku. Keadaan tanah berupa lapisan pelapukan batuan beku berwarna coklat kemerahan yang masih dijumpai akar. Penggalian diakhiri hingga kedalaman t3 97 cm, t4 95 cm, b 92 cm, c 101 cm, d 74 cm, dan e 59 cm. Pada spit ini juga tidak dijumpai artefak lainnya.



PEMBAHASAN


Rekonstruksi Bentuk

Gejala awal yang terlihat pada situs Rajegwesi menunjukkan kesamaan dengan situs-situs di daerah Batujaya dan Cibuaya, Karawang. Situs Batujaya berada pada area yang cukup luas meliputi dua desa yaitu Desa Segaran dan Telagajaya. Indikasi temuan arkeologi adalah berupa sejumlah gundukan-gundukan tanah yang dalam istilah setempat disebut unur. Di desa Segaran unur tersebut berjumlah 9, sedangkan di desa Telagajaya berjumlah 12. Berdasarkan hasil ekskavasi, unur-unur tersebut adalah merupakan bentukan tanah sedimentasi alami yang menutup struktur reruntuhan bangunan candi (Falah, 1995: 15). Di situs Cibuaya juga terdapat beberapa gundukan anah pada areal persawahan. Berdasarkan ekskavasi terlihat bahwa gundukan tanah tersebut merupakan runtuhan bangunan dari bata. Hingga tahun 1994 telah ditampakkan 6 runtuhan bangunan yaitu bangunan sektor 1 hingga 6. Bangunan sektor 2 oleh masyarakat setempat disebut Lemah Duwur Wadon, dan bangunan sektor 3 disebut Lemah Duwur Lanang (Falah, 1996). Dari gejala awal yang sama dengan unur di Batujaya dan Cibuaya tersebut diduga bukit kecil yang terdapat di situs Rajegwesi juga merupakan runtuhan bangunan. Dugaan ini juga didasari adanya sebaran bata kuna.


Berdasarkan survei permukaan secara cermat serta didukung pelaksanaan ekskavasi, bukit kecil di Rajegwesi mempunyai struktur yang berbeda dengan yang ada di Batujaya. Bukit kecil di Rajegwesi bukan terjadi karena proses sedimentasi tetapi merupakan puncak intrusi batuan beku. Dengan demikian bila di Batujaya semula ada bangunan kemudian runtuh dan tertutup tanah, kalau di Rajegwesi semula memang sudah ada bukit kecil sebagai hasil intrusi batuan beku, baru kemudian dibangun candi pada puncak bukit itu.


Dari hasil ekskavasi menunjukkan sebaran bata yang ada sudah tidak terstruktur lagi. Kerusakan ini terjadi karena terangkat oleh akar-akar pohon yang tumbuh pada lokasi itu. Di samping itu transformasi yang dilakukan manusia ketika menyusun kembali bata untuk dibentuk menjadi semacam jirat makam Prabu Songsong menambah parah tingkat kerusakan. Tiga kotak gali yang telah dibuka tidak menemukan sisi atau sudut bangunan. Sebaran bata yang terlihat dari hasil ekskavasi menunjukkan sudah parahnya tingkat kerusakan. Dengan demikian bentuk denah dan ukurannya sudah tidak dapat direkonstruksi kembali secara tepat. Namun berdasarkan radius sebaran, ukuran bangunan diperkirakan sekitar 6 X 6 m.


Secara vertikal sebaran bata juga tidak menunjukkan adanya struktur bertingkat. Sisa tinggalan komponen bangunan yang terdapat di situs Rajegwesi hanya menunjukkan bagian batur. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa yoni yang ditemukan masyarakat di Gunung Leutik (jarak sekitar 100 m sebelah selatan situs Rajegwesi) dahulunya adalah objek pemujaan yang terdapat di atas batur Candi Rajegwesi. Asumsi ini juga didasarkan pada keterangan masyarakat setempat bahwa pada sekitar tahun 1945 terlihat adanya batu panjang yang tertancap. Kemudian pada tahun 1955 ditemukan yoni. Dengan demikian batu yang tertancap tersebut kemungkinan besar adalah lingga. Dahulu kemungkinan objek pemujaan tersebut dilindungi bangunan yang terbuat dari bahan yang mudah rusak.


Di daerah Pangandaran, Ciamis terdapat runtuhan bangunan candi yang disebut Candi Pananjung. Hasil ekskavasi yang dilakukan Puslit Arkenas menunjukkan bahwa bangunan berdenah bujur sangkar dengan ukuran 12 X 12 m. Struktur batu hanya terdiri 3 lapis demikian hanya berupa batur. Bagian atas (tubuh dan atap) bangunan kemungkinan dibuat dari bahan yang mudah rusak seperti misalnya tiang kayu atau bambu, dengan penutup atap dari ijuk atau daun-daunan (Ferdinandus, 1990; Munandar, 1992). Bila dibandingkan dengan Candi Pananjung, Candi Rajegwesi mempunyai bentuk dasar yang sama yaitu bagian permanen hanya pada batur.


Bentuk candi berupa batur dengan objek pemujaan juga dijumpai di situs Cibuaya, Karawang. Bangunan sektor 3 yang oleh masyarakat setempat dinamakan Lemah Duwur Lanang merupakan bangunan berbentuk batur berukuran 9 X 9,6 m dari bahan bata terdiri 31 lapisan. Pada puncak bangunan terdapat lingga setinggi 1,11 m dari bahan batuan andesitik. Pada sisi barat laut terdapat tangga masuk yang sekarang telah hancur (Falah, 1996: 91).


Bentuk candi berupa batur tunggal sebagaimana Candi Rajegwesi, juga dijumpai pada beberapa candi di Jawa Timur misalnya Candi Kedaton (1370 M) yang berada di lereng barat Gunung Hyang. Candi tersebut juga berupa batur tunggal yang di atasnya terdapat altar persajian. Bentuk semacam ini juga dijumpai di Candi Kotes, Blitar dan beberapa tempat persajian di Gunung Penanggungan (Kempers, 1959: 97). Para arkeolog banyak yang menghubungkan Candi Kedaton dengan mandala (lingkungan suci) Mula-Sagara yang disebutkan dalam berbagai sumber tertulis. Nagarakrtagama pupuh 78:7 menyebutkan bahwa mandala Sagara dan Kukub merupakan tempat suci bagi para rsi. Di dalam Tantu Panggelaran nama mandala Sagara disebutkan berkali-kali, dan dianggap sebagai salah satu mandala awal yang didirikan langsung oleh dewa (Munandar, 1992).


Mengenai arah hadap candi pada masa awal klasik di Indonesia, candi menghadap ke utara atau selatan – mengikuti orientasi kosmis – namun pada masa akhir Majapahit terjadi perubahan yaitu menghadap ke unsur alam seperti misalnya gunung (orientasi ktonis). Meskipun bangunan tersebut berlatarkan Hindu namun ungkapan arsitekturnya mencerminkan ciri-ciri bangunan megalitik, punden berundak. Menurut Sri Soejatmi Satari, pada masa ini telah terjadi perkembangan kultus yaitu pemujaan kepada sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan magis. Oleh para penganutnya kekuatan itu dipakai sebagai lambang untuk memperoleh kesuburan maupun kesempurnaan hidup. Kultus ini tumbuh di suatu daerah yang berada jauh dari pusat kerajaan. Pandangan Stutterheim pada masa itu terdapat juga kultus Bhima. Bhima muncul sebagai tokoh yang dikultuskan karena selalu berhasil menyelamatkan sesuatu dari malapetaka dan dipandang sebagai tokoh yang mempunyai sifat mistis-magis. Kehadiran tokoh Bhima berkaitan dengan tampilnya konsepsi tentang pemujaan gunung. Tokoh Bhima mempunyai kedudukan penting pada situs-situs yang ditemukan di gunung-gunung (Tjahjono, 1992; Satari, 1975; Stutterheim, 1956).


Arah hadap Candi Rajegwesi sangat susah ditentukan. Hal ini antara lain karena tidak dijumpai adanya tangga. Mengingat bentuknya berupa batur tunggal dengan objek pemujaan di atasnya serta dengan ketinggian yang tidak begitu tinggi, dapat diasumsikan bahwa kegiatan ritual ketika itu tidak berada pada atas batur tetapi pada halaman di sekitar batur. Dengan demikian arah hadap candi tidak dipastikan dari tangga naik/masuk tetapi dari posisi objek pemujaanya. Bila diperbandingkan dengan candi-candi masa akhir Majapahit yang berorientasi ktonis, lingkungan sekitar Candi Rajegwesi memang bergunung-gunung. Gunung tertinggi di sekitar lokasi berada di sebelah utara situs yaitu pasir Pangrampogan. Namun demikian antara Candi Rajegwesi dengan pasir Pangrampogan terdapat Sungai Citanduy, maka konsep orientasi ktonis tampaknya tidak berlaku. Dengan demikian untuk memastikan arah hadap Candi Rajegwesi masih perlu data yang lebih kuat lagi.



Hubungan Dengan Tinggalan Arkeologis Lainnya

Tinggalan arkeologis disekitar situs Rajegwesi yang berlatarkan klasik hanya prasasti Mandiwuŋa. Selama penelitian berlangsung tidak ditemukan data baru. Prasasti Mandiwuŋa merupakan satu-satunya prasasti penetapan sîma yang ditemukan di Jawa Barat. Penetapan suatu daerah menjadi sîma merupakan peristiwa penting karena menyangkut perubahan status sebidang tanah dan beberapa hak istimewa yang tidak dimiliki daerah-daerah lainnya. Daerah yang ditetapkanenjadi sîma mempunyai hak dan kewajiban tertentu. Di dalam prasasti Waringin Pitu (1447 M) hak bagi pemilik tanah sima antara lain tidak boleh didatangi oleh petugas pajak. Dengan kata lain tanah tersebut terbebas dari pajak yang membebaninya. Di samping itu pemilik tanah sîma mempunyai kewajiban melakukan upacara korban (Indradjaja, 1998; Boechari, 1980; Dwijanto, 1992; Suhadi, 1994). Suatu lahan yang sudah ditetapkan menjadi sîma bukan berarti terbebas sama sekali dari kewajiban mengeluarkan pajak, tetapi berkewajiban mengeluarkan biaya bagi pelaksanaan ritual dan pemeliharaan bagi bangunan suci tertentu.


Berkaitan dengan prasasti Mandiwuŋa, prasasti tersebut juga menyatakan penetapan daerah Mandiwuŋa sebagai sima. Daerah yang dijadikan sima bisa berdekatan dengan bangunan suci yang dimaksud, tetapi juga bisa berjauhan. Berdasarkan perbandingan toponim di sekitar situs Rajegwesi tidak dijumpai adanya lokasi bernama Mandiwunga. Dirman Surachmat menghubungkan Mandiwunga dengan Pulau Handiwung yang terdapat di rawa Onom desa Purwaraharja. Mungkin jaman dahulu rawa itu sebagai kawasan yang ada kaitannya dengan sumber kehidupan masyarakat dariperiode yang lebih tua lagi (Surachmat, 1985). Antara rawa Onom dengan lokasi situs Rajegwesi memang tidak begitu jauh. Melalui jalan sungai bisa melewati Sungai Citapen yang bermuara di Sungai Citanduy. Namun apakah benar bahwa Mandiwunga adalah Pulau Handiwung belum dapat dipastikan. Di samping itu apakah sima di Mandiwunga dimaksudkan untuk keperluan Candi Rajegwesi juga belum dapat dipastikan. Dengan demikian untuk melihat hubungan antara Candi Rajegwesi dengan prasasti Mandiwunga masih perlu data yang lebih akurat.



KESIMPULAN

Penelitian di situs Rajegwesi berhasil mendapatkan beberapa data arkeologis yang sangat penting. Namun demikian dari data yang berhasil diperoleh belum dapat mengungkapkan permasalahan yang muncul. Hal ini disebabkan karena faktor kondisi yang ada. Arsitektur candi Rajegwesi yang terungkap dari data yang ada menunjukkan bahwa candi tersebut berlatarkan Hinduistis. Adanya yoni yang ditemukan masyarakat setempat di dekat lokasi tersebut merupakan indikator kuat yang menunjukkan latar belakang keagamaannya.


Bentuk bangunan diperkirakan berupa batur tunggal dari bahan permanen (bata) sedangkan tubuh dan atap candi dari bahan yang mudah rusak seperti bambu atau kayu. Candi dengan rancang bangun demikian juga ditemukan di situs Batujaya dan Cibuaya, Karawang serta beberapa candi dari masa Majapahit akhir. Secara konstruktif candi Rajegwesi tidak dibangun di atas fondasi tetapi langsung di atas tanah. Keadaan geologis setempat yang merupakan puncak intrusi batuan beku sangat memungkinkan pendirian dengan teknik demikian. Karena sudut-sudut bangunan tidak ditemukan maka denah candi belum dapat diketahui. Melihat persebaran runtuhan yang ada mungkin denah candi berbentuk segi empat dengan ukuran sekitar 6 X 6 m.


Arah hadap candi belum dapat dipastikan. Secara umum arah hadap candi baik Hindu maupun Buddha ke timur atau barat sesuai dengan konsep kosmis (matahari terbit dan tenggelam). Pada masa Majapahit akhir ¾ dan masa klasik akhir di Jawa pada umumnya ¾ di mana unsur agama asli Indonesia “membalut kuat” ajaran agama Hindu/Buddha, konsep ktonis yaitu konsep mengenai tempat-tempat suci seperti gunung, ikut mewarnai perencanaan pembangunan candi. Gejala demikian juga terlihat pada masa klasik Jawa Barat. Namun dilihat dari keletakannya, tampak konsep tersebut tidak diterapkan. Sehingga karena tidak ditemukan sisa-sisa jalan masuk dan kepastian konsep yang melatarbelakanginya, maka masih sulit untukmenentukan arah hadap candi.


Prasasti Mandiwuŋa yang ditemukan di Dusun Cipadung, Desa Purwaraharja, Kec. Cisaga berkaitan dengan penetapan sima atau daerah perdikan. Keberadaan prasasti tersebut menunjukkan bahwa di sekitar daerah tersebut terdapat bangunan suci. Penetapan daerah menjadi sima dimaksudkan bahwa daerah tersebut dibebaskan dari pajak dengan harapan hasilnya untuk kepentingan mengurus bangunan suci. Sima yang dimaksudkan dalam prasasti adalah daerah yang bernama Mandiwuŋa. Berdasarkan telaah toponimi, belum ditemukan adanya kampung atau desa yang namanya mengacu pada Mandiwuŋa. Dengan demikian untuk memastikan apakah ada hubungan antara prasasti Mandiwuŋa dengan candi Rajegwesi masih diperlukan penelaahan yang lebih mendalam lagi.



KEPUSTAKAAN

Boechari. 1980. “Candi dan Lingkungannya”. Makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi, Cibulan 21-25 Februari 1977. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.

Deetz, James. 1967, Invitation to Archaeology. New York: The Natural History Press.

Djafar, Hasan. 1991. “Prasasti-prasasti dari Masa Kerajaan-kerajaan Sunda”. Makalah pada Seminar Nasional Sastra dan Sejarah Pakuan Pajajaran. Bogor 11 – 13 November (belum diterbitkan).

Djubiantono, Tony; W. Anwar Falah, Agus. 1997/1998. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi: Penanggulangan Kasus Kepurbakalaan Di Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat. Balai Arkeologi Bandung.

Dwijanto, Djoko. 1992. “Pungutan Pajak dan Pembatasan Usaha di Jawa Pada Abad IX – XV Masehi”. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

Falah, W Anwar. 1995. “Kaki Candi SED.V (Unur Blandongan) Di Situs Batujaya Karawang: Satu Tafsir Penjajagan Konteks Arkeologi Kesejarahan”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 2/November/1995. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.

-----, 1996 “Penelitian (Awal) Kronologi Budaya Situs Cibuaya Karawang Jawa Barat”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 4/November/1996. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.

Ferdinandus, Pieter E.J. 1990. “Situs Batu Kalde di Pangandaran, Jawa Barat”. Dalam Monumen. Depok: Fakutas Sastra Universitas Indonesia.

-----, 1998 Laporan Penelitian Arkeologi Kabupaten Ciamis (Karangkamulyan, Banjar, Kawali, dan Pamarican). Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (tidak diterbitkan).

Idjam. 1991. “Patilasan Sanghiyang Ibu Ratu Galuh”. (catatan tidak diterbitkan).

Indradjaja, Agustijanto. 1998. “Beberapa Masalah Perubahan Status Tanah di Jawa Barat Menurut Sumber Prasasti”. Dalam Dinamika Budaya Asia Tenggara-Pasifik Dalam Perjalanan Sejarah. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Kempers, A.J. Bernet. 1959. Ancient Indonesian Art. Amsterdam: Harvard University Press.

Krom, N.J. 1915. Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie 1914. Batavia: Albrecht & Co.

Munandar, Agus Aris. 1992. “Bangunan Suci Pada Masa Kerajaan Sunda: Data Arkeologi dan Sumber Tertulis”. Makalah pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi VI, Batu, Malang: 26-30 Juli 1992. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Nastiti, Titi Surti. 1996. “Prasasti Kawali”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung No. 4/November/1996.

Renfrew, Colin; Paul Bahn. 1991. Archaeology: Theories, Methods, and Practice. London: Thames and Hudson.

Satari, Sri Soejatmi. 1975. “Seni Rupa dan Arsitektur Zaman Klasik di Indonesia”. Dalam Kalpataru. Jakarta: Puslit Arkenas.

Stutterheim, W.F. 1956. An Ancient Javanese Bhima Cult. Studies in Indonesian Archaeology. The Hague: Martinus Nijhoff.

Suhadi, Machi. 1994. “Hak dan Kewajiban Kepada Tanah Sima Dalam Masa Majapahit”. Dalam Berkala Arkeologi Th. XIV. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Sumadio, Bambang (ed.). 1992. “Jaman Kuna”. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka.

Surachmat, Dirman. 1985. “Prasasti Cisaga”. Makalah dalam Seminar Sejarah Nasional IV. Yogyakarta 16 – 19 Desember 1985. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.

Tim Penelitian Arkeologi. 1983. Laporan Sementara Penelitian Arkeologi di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (tidak diterbitkan).


[1] Kode titik pada kotak lainnya tetap seperti pada kotak LU 1. Pengukuran ketinggian/kedalaman berpatokan pada Datum Point (DP) dengan posisi 0 di dekat titik tertentu + 15 cm.

[2] Akhir spit 1 ditetapkan pada kedalaman titik terendah bagian yang digali + 20 cm yaitu pada kedalaman 60 cm.

CATATAN: Tulisan ini diterbitkan di buku berjudul "Cakrawala Arkeologi". hlm. 46 - 60. Editor: Dr. Fachroel Aziz dan Dra. Etty Saringendyanti W, M. Hum. Penerbit: Ikatan Arkeologi Indonesia, Bandung: 2000.

Nanang Saptono

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda