Minggu, 04 Maret 2012

Seksualitas” Batu Tua

“Kala batu bicara”, demikian kata Brainwood puluhan tahun yang lalu, “maka tafsiran bisa terkesan liar ketika pemahaman konteksual dikesampingkan”. Dan itu saya rasakan beberapa tahun lalu, kala berkesempatan pergi ke beberapa tempat di Sumatera Utara, Aceh dan beberapa daerah di Sumatera Barat. Saya terpana melihat phallus. Sebuah istilah dalam ilmu arkeologi untuk menamakan batu tua “tegak berdiri” sedikit melengkung yang dijumpai di makam-makam raja-raja “saisuak”. Phallus, batu tegak penanda makam raja. Bentuknya sangat sensual, mirip penis “anak jantan”, dengan kepalanya yang sudah disunat. Ketika melihat phallus ini, secara tidak langsung ada ada pesan yang kita tangkap (setidaknya saya) : “hei bung, disini dimakamkan pejantan tangguh” - hehehe, meminjam istilah Sheila on 7. “Nenek moyang kita doyan porno”, kata seorang teman saya yang terheran-heran memandang phallus ini sambil menggosok-gosok kepala phallus yang batangnya melengkung dan sudah menua dilumuri lumut, tapi tetap gagah. Phallus hanyalah bagian kecil dari sensualitas sejarah masa lalu. Bila kita lihat peninggalan tradisi Hindu-Budha kuno, banyak simbol-simbol free sex. Bila ditinjau dari etika kekinian, karya zaman “mpu Tantular” dan mpu-mpu lainnya ini, terkesan pornografis. Tapi, sebagaimana yang diungkapkan Brainwood diatas, pemahaman kontekstual haruslah diperhatikan. Jiwa zaman dalam bahasa ilmu sejarahnya. Patung-patung ini merupakan produk dari masa seksualitas tradisional. Diperkirakan wacana seksualitas ini berasal dari India yang merupakan hulu dari tradisi Hindu (hehehe, jadi ingat Kamasutra).

Dalam beberapa candi di India dan Indonesia, ada penggambaran nyata alat kelamin dan hubungan seks. Hubungan seksual di zaman Hindu-Budha kuno tersebut, merupakan simbolisasi dari kesuburan. Simbol-simbol seksualitas ini, baik dalam praktek sehari-hari maupun secara abstrak, menjadi jimat yang harus menjamin berhasilnya panen dan kemakmuran. Ong Kho Kham mengatakan pada masa Raja Singasari terakhir, Kertanegara (1268-1292), mencari jimat atau kekuatan ghaib agar panen berhasil dengan jalan Tantrisme - melakukan hubungan seksual sepuas-puasnya sampai letih-muak. Seksualitas juga terungkap pula dalam perkawinan Ken Arok dan Ken Dedes. Seksualitas bukan hanya dimaknai sebagai sebuah keliaran/barbarisme, tapi sebuah jalan untuk memakmurkan masyarakat. Mungkin dalam konteks inilah, raja-raja dahulu memiliki anak puluhan, cucu ratusan dan cicit hampir ribuan dengan istri yang berjumlah entah berapa puluh pula.

Berikut, beberapa (sebagian tidak diposting) tanggapan/diskusi tentang topik diatas di Muhammad Ilham Fadli FB :

Abdullah Awang : saya suka ilmu dalam tulisan ini. ianya banyak menceritakan pengalaman masa lalu beberapa etnik Nusantara yang terlepas pandangan kepada kita hari ini. Adakalanya kita tidak melihat sesuatu itu dari sudut atau kacamata Islamisme, malah kebanyakannya menilik dari pandangan sekular. Kalu dilihat dari duniawi maka seksulitas itu adalah porno. tetapi kalu disoroti melalui pandangan Islam tentunya dilihat pada harmonisnya kejadian Ilahi.

Khairul Ashdiq : Satu pertanyaan bang, apakah mungkin kepunahan peradaban zamn “saisuak” itu karena eksploitasi area sensitif ini yang terlalu vulgar.. Membaca kepada sejarah kaum nabi Luth melalui al Quran dan penjelasan Rasulullah, sangat jelas bahwa salah guna bagian “pejantan tangguh” inilah akhirnya Allah swt membalikan bumi tempat mereka berdiam.. Konteks ini kiranya laik menjadi satu perspektif dalam membaca sejarah yang leluhur terdekat kita.. Seperti kita ketahui bahwa “Historia Magistra Vitae Est” sejarah adalah guru terbaik kehidupan.. Jika memang iya kondisinya seperti itu Mudah2an ini menjadi pedoman bagi kita yang hidup d zaman sekarang dimana media eksploitasi seksualitas sudah sangat beragam.. Contoh-contoh salah laku yang dulu dibagi mengikut periode waktu, kaum, dan suku bangsa.. Di zaman kita semuanya sudah ada dalam satu periode waktu.


Utje F. Felagona : koreksi sedikit bang; phallus memang terlihat telah disunat, tetapi karena ’sunat’ terkait dengan pandangan abrahamik, cenderung nanti menimbulkan keraguan karena pemaknaannya berbeda. Phallus selalu dibuat dalam posisi ereksi/ tidak dalam posisi normal tanpa adanya akumulasi darah dalam pembuluh. Dari perspektif biologi, kulup atau bagian kulit yang menutupi kepala penis, memiliki fungsi yang melindungi kepala penis yang sensitif karena adanya simpul2 syaraf disana. Penis dalam kondisi ereksi sempurna, dalam kondisi kulup/kulit masih ada, juga terlihat seperti telah disunat. Pertanyaannya, mengapa phallus selalu berupa penis yang ereksi secara sempurna, tentu ada pemaknaan yang lebih dari sekedar bentuk perlambangan seksualitas tertentu. Karena untuk ereksi, penis membutuhkan ransangan/impuls tertentu baik secara fisik berupa sentuhan, kombinasi ransang syaraf yang berkaitan dengan indera2 pencandra, ransang imajinatif dimana stimuli berkaitan dengan pengetahuan, dan faktor-faktor metabolisme tubuh yang berkaitan dengan sirkulasi darah, siklus hormonal dan adaptasi terhadap lingkungan. Jika kontekstualitas hanya dimaknai sebagai persoalan etika dan perspektif pengetahuan sejarah dari latar agama tertentu, sebagaimana bang khairul dan pak abdullah awang, seringkali kita terjebak pada soal-soal yang cenderung berperan sebagai mitos, karena hanya menyoal relatifitas reflektif pada masalah2 yang telah menjadi ekstrim. Pornografi dan barbarisme adalah kondisi-kondisi yang telah melebih kondisi2 normal (bukan normatif) seksualitas, dan sangat berkait dengan perspektif etika dan ideologis yang seringkali hitam dan putih, dimana hitam dan putih adalah perlambang sebuah kontras (kondisi ekstrim dari sesuatu yang alamiah). Karena, sekalipun berada dalam ketelanjangan, masyarakat yang hidup dipedalaman (mulai dari papua hingga mentawai), seksualitas dan pro-kreasi tetap dalam rambu-rambu etik yang bersifat khusus. Begitu juga dalam kebudayaan tantrik, yang masih terdapat di bebarapa daerah di Bali dan Jawa, eksploitasi seksualitas badani bukanlah sesuatu yang terlihat segampang dalam tulisan etnografi, karena hal itu bagi mereka adalah bagian dari siklus kehidupan dari lahir hingga ke kematian. :)

Muhammad Hidayat : Tidakkah phalus merupakan simbol kelelakian atau budaya patriakhi pada zaman saisuak ?


Safwan Yusuf : Phalus adalah dewa penis dan punya jinja (temple), saya pernah kesana, bisanya pasangan muda meminta berkah supaya si calon ayah bisa memberikan anak laki2 yang sehat. Tanggal 15 Maret ada perayaannya di Jepang.Ini bermula pada masa Edo Jidai.

Muhammad Ilham

Foto : Phallus/www.bknst.go.id

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda