Selasa, 21 Februari 2012

Kerajaan Sunda: Hartharanus, benarkah ini Atlantis?



Saudaraku sekalian. Dalam tulisan ini, sekali lagi saya mengajak Anda untuk kembali mengulik tentang sejarah bangsa kita. Tentang betapa nenek moyang kita dulu adalah sosok yang luar biasa dan pernah menjadi contoh bagi peradaban dunia. Sehingga harapannya adalah bahwa kita pun termotivasi untuk turut mengikuti prestasi mereka. Keluar dari kebodohan dan ketertinggalan peradaban seperti sekarang ini. Atau berusaha semaksimal mungkin untuk tetap percaya diri dan segera memperbaiki keadaan – seperti rusaknya akhlak dan rendahnya pengetahuan – agar kita pun dapat meraih kebahagiaan dan keselamatan hidup.


Nah, untuk mempersingkat waktu, mari kita ikuti penelusuran berikut ini:


1. Kerajaan Hartharanus dan Prabu Heru Cakra


Menurut tutur yang berkembang di masyarakat, dahulu kala di Pulau Jawa pernah ada kerajaan yang sudah menganut paham monotheos. Kerajaan besar yang diapit oleh Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, serta dikenal dengan sebutan Hatharanus itu diperintah oleh seorang raja agung yang adil dan bijaksana dengan gelar Prabu Heru Cakra. Sementara bahasa yang digunakan saat itu adalah Ingsun Sabda yang akhirnya di sebut dengan akronim Sun-Da.


Dibawah kearifan dan ketegasan prabu Heru Cakra, jadilah pulau Jawa sebagai mercusuar Nusantara. Oleh karena itu, layaknya suatu bahasa yang memiliki karakter sebagai sarana untuk berkomunikasi, baik lisan maupun tulis, maka hingga sekarang aksara dan bahasa SunDa masih tetap lestari di tengah tengah masyarakat Nusantara khususnya di pulau Jawa bagian barat.


Tabel: Aksara SunDa (Kaganga)


Prabu Heru Cakra juga dikenal sebagai seorang tokoh yang menyebarkan ilmu hubungan urat syaraf yang berhubungan dengan tiap ruas urat syaraf manusia. Dari mulai tulang ekor hingga tulang tengkorak. Ilmu ini lebih dikenal dengan sebutan Gelang Naga (gelang tenaga). Konon, dinasti Shambala dari Tibet juga mempelajari ilmu ini melalui pertukaran budaya pada masa kejayaan Sriwijaya, dan kemudian ilmu ini dikenal dengan nama Kala Cakra.


Waktu terus berlalu tanpa terasa dan di tandai dengan masuknya agama Hindu dan Buddha. Ilmu Heru Cakra pun mulai berkembang ke luar pulau Jawa, demikian pula saat agama Islam masuk dan berkembang pesat di seantero Nusantara. Silang pendapat tentang kehidupan tokoh yang satu ini, juga seolah tak berkesudahan. Di tataran SunDa meyakini, bahwa Heru Cakra hidup dan mukim di Bantar Kawung Cianjur Jawa Barat. Sementara yang lain meyakini beliau telah hidup pada zaman purba.


Terlepas dari silang pendapat yang berkembang di masyarakat, pada zamanya, tak ada yang bisa menampik, betapa di tanah Jawa pernah ada suatu peradaban yang tinggi dan besar yang dapat dibuktikan dengan adanya bahasa persatuanya, yaitu SunDa. Yang sampai tulisan ini di buat masih sangat lestari di tengah tengah masyarakat, khususnya di Jawa bagian Barat.


2. Legenda Silat dan Pangeran Pengampun

Bagi para guru sepuh ilmu silat, nama Pangeran Pengampun bukanlah nama yang asing. Tetapi pada saat sekarang mungkin hanya beberapa perguruan ssaja yang masih mengenalkan sosok legendaris Pangeran Pengampun.


Konon ilmu silat sudah dikenal jauh sebelum agama Hindu dan Buddha masuk ke Nusantara. Dimana dibuktikan bahwa di Nusantara ini (sebut saja Pulau Jawa), sudah memiliki peradaban yang sangat tinggi. Banyak fosil manusia tertua di dunia ditemukan di daratan pulau Jawa, seperti dimulai dari Pithecantrphus eretus sampai ke Mojokerto soloensis.



Pulau Jawa, adalah daerah kapital dari kerajaan Hartharanus. Pangeran Pengampun adalah satu di antara kerabat prabu Heru Cakra yang namanya tetap hidup. Sampai saat sekarang, dimana ilmu yang digelar oleh Pangeran Pengampun adalah ilmu pengharkatan energi yang berbasis pada hubungan urat syarat yang berhubungan dengan setiap ruas tulang manusia. Khususnya ruas tulang belakang dari mulai tulang ekor sampai dengan tulang tengkorak. Ilmu tersebut dikenal dengan istilah Gelang Naga (Gelang tenaga). Konon dinasti Shambala dari Tibet mempelajari ilmu ini melalui pertukaran budaya pada masa kejayaan Sriwijaya. Yang kemudian dikenal dengan ilmu Kala Cakra..


Jelasnya bahwa keilmuan Gelang Naga (gelang tenaga) yang membangkitkan (harkatan/herkaton) energi melalui ring-ring dari disetiap ruas tulang manusia. Dimana setiap di setiap ring ruas tulang terhubung dengan urat syaraf yang berhubungan dengan organ oragn vital manusia. Yang dalam pengertiannya jika energi ini mengalami hambatan, maka ada bagian spesifik tubuh yang tidak teraliri oleh energi yang dirasakan sebagai rasa sakit di organ tersebut yang terasa tidak nyaman.


Masuknya agama Hindu dan Buddha ke Jawa, menyebabkan keilmuan yang berasal dari Pangeran Pengampun semakin maju bahkan beredar keluar pulau Jawa. Namun lafads “Pengampun” sangat sulit diucapkan bagi orang diluar Jawa. Sehingga pemujaan terhadapa Pangeran Pengampun hanyalah terdengar seperti gumanan/lafads yang berbunyi ”Houm houm houm“. Demikian pula setelah Nusantara dimasuki agama Islam pemujaan terhadap Pangeran Pengampun disebut sebagai “Waliullah wakil Kesatu”. Dari sekian banyak ilmu hikmah yang diajarkan oleh para Wali banyak menyebutkan Pangeran Pengampun Waliullah wakil kesatu”


Sehingga secara jelas bahwa “legenda Pangeran Pengampun” tetap hidup dimulai dari zaman Pra Hindu-Budhha sampai saat sekarang. Sosok Pangeran Pengampun adalah tokoh yang tidak masuk dalam catatan sejarah dan namanya hidup dimasyarakat, maka beliau menjadi tokoh legenda. Akan tetapi bagi mereka yang mempelajari ilmu-ilmu hikmah akan menemui sebutan “Pangeran Pengampun waliullah wakil kesatu” didalam mantra-mantra tertentu.


Di tatar Sunda (Parahiangan), dipercaya bahwa Pangeran Pengampun pernah hidup di Bantar Kawung Cianjur Jawa barat. Sedangkan di Jawa Tengah Pangeran Pengampun dipercaya pernah hidup di masa kerajaan Hartharanus. Dan dihormati namanya oleh para Wali dengan sebutan “Waliullah wakil Kesatu” yang artinya Wakil yang berkaromah yang berkedudukan di atas para wali.



3. Kesimpulan sementara

Dengan menilik penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan sementara. Pertama, di pulau Jawa dahulu ada sebuah kerajaan yang besar dengan nama Hartharanus. Kedua, negara Hartharanus jika dibaca dari belakang bisa menjadi Nusantara. Ketiga, dalam spelling orang Barat – khususnya Yunani: Plato -, kata Hartharnus menjadi Atlantis. Yang dipercaya oleh mereka sebagai benua yang hilang dan benua yang memiliki peradaban sangat tinggi. Keempat, bahwa di pulau Jawa ada bahasa kesatuan yang disebut bahasa Sun-Da (bahasa Ingsun Sabda). Kelima, keilmuan tentang energi berkaitan dengan energi yang memancar/merambat dari setiap ruas tulang manusia khususnya ruas ruas tulang punggung. Mengalir melalui urat syarat menuju organ organ tubuh yang vital. Ilmu ini pun menyebar kemana-mana bahkan hingga tibet. Keenam, banyak versi tentang prabu Heru Cakra dan legenda Pangeran Pengampun yang beredar di masyarakat.



Kajian ini masih bersifat sementara dan perlu ditelusuri lebih dalam untuk bisa menemukan sejarah yang sebenarnya. Tapi paling tidak bisa memberikan gambaran dan dukungan, bahwa memanglah Nusantara ini dulu pernah memasuki zaman dan peradaban yang sangat maju, serta menjadi pemimpin dunia. Wallahu`alam.

Mashudi Antoro

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda