Another Side of Yogyakarta (I)
Yogyakarta memiliki begitu beraneka ragam budaya dan karya. Sebagai pusat pemerintahan dari sejak jaman Mataram, wajarlah jika Yogyakarta menjadi pusat budaya, pengetahuan, ilmu, seni dan berbagai macam kerajinan. Semuanya itu bertebaran dan tersebar di wilayah Yogyakarta.
Diantaranya adalah kerajinan gerabah yang terbuat dari liat. Hampir semua orang pernah dengar nama Kasongan. Desa yang khas ini terletak di selatan Yogyakarta, menjadi pusat kerajinan gerabah. Hari Raya Nyepi kemarin, ketika ummat Hindu melakukan brata : amati geni, amati karya, amati lelanguan, saya di Yogya. Dan saya mencoba mengumpulkan ingatan dan menuliskannya untuk anda.
KASONGANSaya ditemani rekan saya Tribowo melihat desa Kasongan ini. Dan jalan masuknya ada gapura besar dengan tulisan yang mencolok. Saya memasuki desa ini dan mencoba menemui para pengrajin. Salah satunya Tukidjo pengrajin gerabah dari tanah liat.
Siang itu Tukidjo, sedang asyik bekerja dibantu dengan istrinya. Menurut istrinya Tukidjo sudah cukup terkenal, karena sempat diulas dan masuk koran KR - Kedaulatan Rakyat. Saya duduk di sebelah Tukidjo, dan istrinya bercerita. Bahan dasar gerabah yang dari lempung atau tanah liat, dibeli satu bak mobil harganya Rp. 600 ribu. Bahan itu sudah jadi dan dibuat dari campuran 1/3 tanah liat merah, 1/3 tanah liat kuning dan 1/3 nya lagi pasir.
Mereka berdua mengerjakan bentuk pot bunga. Katanya jika sudah kering dan siap dibakar, harganya Rp. 4 ribu per buah. Bentuk babi harganya Rp. 15 ribu. Kecepatan keringnya tergantung sinar matahari. Jika sedang hujan, pengeringannya akan sedikit lebih lama. Untuk tahap penyelesaian dan penghalusannya menggunakan solar, kalau dulu memakai minyak tanah. Tetapi setelah harga minyak tanah mahal, maka mereka beralih menggunakan solar.
Setelah kering hasil kerjanya akan diserahkan pada “boss” untuk kemudian di proses lebih lanjut dengan dibakar dan diwarnai. Ada juga beberapa produk yang cacat dalam proses pembakaran, dan sedang maka diadakan perbaikan dan dibakar lagi.
Ketika kami ngobrol, sebuah sedan putih jazz melintas. Dan ibu Tukidjo nyeletuk tanpa ada nada menyesal : “Lha niku mobil boss alus. Sing ndamel saben dino ngaten niki, malah namung saged tumbas sepeda mawon” (”Lha itu mobil boss mulus. Yang membuat setiap hari seperti ini, hanya bisa membeli sepeda saja”). Sungguh sebuah ciri khas hubungan tenaga kasar dan pengepul produk, di suatu daerah.
Di sebelah rumah Tukidjo, juga ada rumah yang memproduksi gerabah sejak dari membuat gerabah dari cetakan sampai dengan pembakaran. Di dapur ada beberapa remaja dan anak-anak yang sedang membuat bentuk patung pendeta Cina. Di belakang rumah ada yang sedang memperbaiki gerabah yang dalam pembakarannya cacat, retak dan tidak sempurna. Produk itu ditambal lagi, dibakar lagi sehingga kembali baik dan siap untuk di finishing touch. Dan di luar rumah bapak dan ibunya sedang sibuk memberi warna gerabahnya dengan warna hitam.
MASJID MLANGI
Meninggalkan Kasongan, pas waktu menjelang shalat Jumat. Rekan saya Tribowo mengajak untuk ke Masjid Mlangi di Salakan. Masjid ini istimewa begitu katanya. Jadi penasaran apanya sih yang khas disana? Katanya Masjid Mlangi menjadi pusat tarekat yang disegani. Dan kami pun menuju ke desa Salakan. Ketika menjelang sampai ke lokasi, saya membayangkan pada jaman dulu, bagaimana caranya menuju ke sini? Jika tidak ada ring road, menuju ke sini cukup sulit, karena selain jauh juga terpencil.
Masjid Mlangi terletak di Dusun Mlangi, Kelurahan Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman DIY. Jaraknya sekitar 7 km barat laut dari kota Yogyakarta dapat ditempuh dengan melalui jalur lingkar barat atau ringroad barat. Dari tepi ring road, ada jalan lurus kira-kira 1 km. Masjid ini terletak di sebuah tikungan pertama. Di depannya ada gapura putih dan jalan masuknya dibatasi dinding.
Dulu mestinya ini masjid yang cukup disegani dan terawat baik. Memasuki gapura halaman masjid, terdapat beberapa tangga menurun. Dengan begitu dilihat dari tinggi tanah pada umumnya, lokasi masjid ini lebih rendah dibanding tanah sekitarnya. Sisi kiri dan halaman masjid terdapat tembok beteng mengelilingi masjid. Saya masuk kedalamnya dan ternyata hanya ada seorang yang sudah setengah sepuh sedang berbenah di depan halaman masjid.
Dan memang benar-benar aneh selain namanya tidak mengandung bahasa Arab, juga ini sudah menjelang jam 12 siang, waktunya shalat Jumat, tetapi Masjid Mlangi masih sepi tidak ada tanda-tanda akan diadakan Shalat Jumat. Rekan saya bertanya di depan warung, dan mendapat jawaban bahwa shalat Jumat di Masjid Mlangi baru akan dilaksanakan pada jam 13.15. Lho? Aneh kok bisa begitu? Daripada terlambat, kami mencari masjid lain. Dan akhirnya kami shalat di Masjid Ainur Jaariyah.
Karena penasaran saya browsing mencari informasi mengenai Masjid Mlangi. Kyai besar pendirinya adalah Kyai Nur Iman. Ternyata beliau adalah seorang bangsawan. Nama aslinya adalah RM Sandeyo putra dari RM. Suryo Putro (Amangkurat IV), cucu keturunan Pangeran Puger. Ibunya adalah Retno Susilawati putri dari Adipati Wironegoro yang tidak lain adalah Untung Suropati, yang mengalahkan tentara Belanda dan membunuh Kapten Tack.
Pada tahun 1776, saat Jumenengan Pangeran Mangkubumi menjadi raja Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat yang kemudian disebut Hamengku Buwana I, Kyai M. Nur Iman Mlangi diberi hadiah tanah oleh Hamengku Buwana I, berupa tanah Perdikan. Diatas tanah itu kemudian dibangun desa dan digunakan untuk pengembangan agama Islam. Juga didirikan pondok pesantren untuk “mulangi” atau mengajar agama. Dari kata mulangi inilah kemudian desa tersebut dikenal menjadi desa Mlangi.
Pada masa pemerintahaan Hamengku Buwana II Kyai Nur Iman Mlangi mengusulkan agar Raja membangun Empat Masjid Besar, untuk melengkapi masjid yang sudah berdiri terlebih dahulu, yaitu masjid di kampung Kauman, di samping kraton. Masjid yang akan dibangun tersebut disarankan oleh Kyai Nur Iman dibangun di empat arah dan diberi nama Masjid Patok Nagari. Keempat masjid tersebut dengan masing-masing pengurusnya adalah :
Di sebelah Barat di dusun Mlangi - Kyai Nur Iman
Di sebelah Timur di desa Babadan - Kyai Karang Besari
Di sebelah Utara di desa Ploso Kuning - Kyai Mursodo
Di sebelah Selatan di desa Dongkelan - Kyai Hasan Besari
Masjid - masjid tersebut kemudian terkenal dengan Masjid Kagungan Dalem atau Masjid Kasultanan, dan pengurus takmir pada saat itu termasuk sebagai abdi dalem kraton dan mendapat bengkok berupa sawah. Masjid Mlangi diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat setempat oleh Hamengku Buwono IX pada tahun 1955. Namanya pun berubah menjadi Masjid Jami’ Mlangi.
Setelah membaca uraian tersebut, baru saya menyadari pantaslah Masjid Mlangi memang luar biasa, ternyata pendirinya adalah putera dari Amangkurat IV, cucu keturunan langsung dari Pangeran Puger, dan juga cucu dari Untung Suropati.
WARUNG SGPC
Sehabis shalat, rekan saya mengajak menikmati SGPC alias sego pecel. Dan kami menuju ke warung bu Wiryo. Warung ini berada ditepi jalan di dekat UGM. Di papannya tertulis dengan huruf berwarna merah : Warung Makan Tempo Doeloe “SGPC Bu Wiryo 1959″ Melayani UGM sejak 1959. Jadi warung ini yang sudah berdiri sejak tahun 1959? Artinya sudah lebih dari setengah abad! Makanan khasnya: soto bayem! Soto yang diberi rebusan bayam.
Hari Jumat itu, pas Nyepi dan libur. Tetapi tetap saja penuh pengunjung hadir yang mau makan. Di sebuah pojok ada sepasang bule sedang menikmati makanan, yang cewek asik makan krupuk. Bule pun ikut menikmati, warung SGPC ini.
Di dekat pintu masuk lima orang anak muda memainkan musik, menghibur yang sedang makan. Mereka memainkan musik dengan cukup apik, malah di dinding ada poster mereka dan albumnya sudah direkam.
Wah, keren juga neh. Sebuah kelompok band bermain musik dan menghibur penikmat SGPC. Hanya ada si Yogya lah, warung pecel ada band-nya kan? Nggak percaya?
Silahkan datang dan mencicipi soto-bayem ke sini deh.Heru Legowo
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda