Jejak Penyebaran Islam dalam Stempel Kerajaan Bone
Seiring dengan revitalisasi Benteng Ujungpandang yang dilakukan dalam dua tahapan (2010 dan 2011) yang menggunakan dana APBN sebanyak Rp 33,2 miliar, juga dilakukan revitalisasi terhadap Museum La Galigo yang berlokasi di dalam benteng ini dengan dana APBN 2011 sebesar Rp 4,3 miliar.
Museum Lagaligo merupakan salah satu dari sejumlah museum yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan, yang sejak tahun 1979 berstatus sebagai Museum Negeri. Kala itu, sudah mendapat alokasi anggaran pemeliharaan langsung dari pemerintah pusat melalui Departemen P dan K.
Sedangkan sejumlah museum lainnya, seperti Museum Lapawawoi di Kota Watampone, ibukota Kabupaten Bone. Museum Labangenge di Kota Parepare, Museum Ballalompoa di Kota Sungguminasa, ibukota Kabupaten Gowa, Museum Batara Guru di Kota Palopo, dan Museum Nekara di Kabupaten Selayar berstatus Museum Lokal yang pemeliharaan dan pengebangannya dilakukan menggunakan dana dari pemerintah daerah.
Revitalisasi terhadap Museum Lagaligo tahun 2011, tentu saja, penggunaan alokasi dana sebanyak Rp 4,3 miliar, lebih banyak diarahkan untuk penataan interior dan kelengkapan benda-benda koleksi museum. Lantaran dua gedung yang digunakan untuk Museum Lagaligo di komplek Benteng Ujungpandang merupakan bagian dari bangunan benteng yang masuk dalam proyek revitalisasi Benteng Ujungpandang tahun 2010 dan 2011.
Kedua gedung dalam komplek Benteng Ujungpandang yang dijadikan sebagai Museum Lagaligo, masing-masing satu gedung berlantai dua di arah utara. Bangunan yang dalam masa pendudukan kolonial Belanda berfungsi sebagai Governoor’s Dwelling Place tersebut, setelah revitalisasi diberi label sebagai Gedung D. Gedung museum Lagaligo lainnya mengambil bekas Store Housees di bagian selatan yang setelah revilatalisasi diberi label sebagai gedung M.
Pascarevitalisasi, selain terlihat ada suasana baru penataan isi koleksi juga terjadi perubahan nama ruang-ruang koleksi di kedua gedung yang dijadikan sebagai Museum Lagaligo. Sebelum revitalisasi, penataan benda-benda koleksi Museum Lagaligo dikelompokkan secara spesifik, seperti ruang koleksi etnografis, numismatik, heraldik, sejarah, arkeologi, naskah kuno, keramik asing, dan wawasan nusantara.
Kini, jika kita masuk ke Gedung M lantai I dan II Museum Lagaligo akan didapati yang namanya ruang Sejarah Kebudayaan dan Lintas Peradaban Sulawesi Selatan, Ruang Budaya Islam, Ruang Pedalaman Agraris, Ruang Pedalaman Perkampungan, Ruang Budaya Pesisir, dan Ruang Pertumbuhan dan Perkembangan Kota. Sedangkan isi Museum Lagaligo yang dipajang di lantai II Gedung D, didominasi koleksi senjata tradisional berupa badik, keris, tombak, parang, kelewang, samurai, dan sejumlah pistol tradisional berpelatuk. Koleksi senjata tradisional tersebut tak hanya yang berasal dari Sulawesi Selatan tapi juga dari provinsi lain di Indonesia.
Tata cahaya dan pengaturan suhu dalam kedua bangunan museum tampak lebih baik dibandingkan sebelum dilakukan revitalisasi. Namun isi koleksi museum saat ini agak lebih ramping. Tahun 1983, ketika kali pertama mengunjungi Museum Lagaligo, di ruang koleksi Heraldik terdapat penyajian benda koleksi berupa lambang daerah kabupate/kota yang ada di Provinsi Sulsel disertai catatan penjelasan arti dan makna setiap lambang. Demikian pula ada dipajang lambang sejumlah instansi sipil dan militer, serta perguruan tinggi ternama yang ada di daerah ini. Termasuk sejumlah replika bentuk tanda jasa dan piagam penghargaan pejuang asal Sulawesi Selatan. Sekarang koleksi Heraldik seperti itu sudah tidak didapati dalam Museum Lagaligo.
Sebelum revitalisasi, di ruang koleksi heraldik Museum Lagaligo masih dapat disaksikan koleksi sekitar 40 Stempel Kerajaan Bone yang umumnya menggunakan tulisan Arab lengkap dengan pajangan contoh hasil stempel. Namun setelah revitalisasi saat ini, hanya beberapa dari koleksi Stempel Kerajaan Bone tersebut dipajang dalam lemari tembus pandang, tanpa ada penjelasan tertulis sedikitpun di Ruang Pertumbuhan dan Perkembangan Kota dalam Gedung M, Museum Lagaligo.
Sejumlah benda koleksi tersebut tampak digeletakkan, tanpa ada yang menjelaskan tidak diketahui jika itu adalah stempel. Apalagi disekitarnya tidak ada tulisan penjelasan sedikitpun yang menerangkan jika benda itu adalah bagian dari koleksi peninggalan lama Stempel Kerajaan Bone. Padahal dari Stempel Kerajaan Bone yang awalnya merupakan koleksi Museum Lapawawoi di Kabupaten Bone itu, ada informasi penting menyangkut kesejarahan yang dapat dikembangkan khususnya mengenai masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan.
Salah satunya, mengenai tahun masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan yang selama ini banyak dikaitkan dengan tahun didirikannya Masjid Katangka di Kabupaten Gowa yaitu tahun 1605. Jika saja angka-angka yang tertera seperti 1134,1231,1625, dan 1884 dalam sejumlah Stempel Kerajaan Bone yang terbuat dari kayu dan logam dengan beragam bentuk — kembang, persegi empat, segi tiga, lingkaran, dan segi delapan, menunjukkan sebagai angka tahun. Maka boleh jadi, sebenarnya Agama Islam sudah masuk di Sulawesi Selatan sejak abad XII (1134), jauh sebelum didirikan Masjid Katangka di Gowa (1605), dan bahkan lebih awal dibandingkan masuknya Islam di Aceh pada abad XIII.
Stempel Kerajaan Bone yang menggunakan tulisan Arab berseni kaligrafi tinggi tersebut dapat menjadi pandu menguak catatan sesungguhnya sejarah penyebaran Islam di Indonesia, bisa jadi tidak hanya melalui satu pintu dari Aceh kemudian menyebar ke daerah lain di Indonesia. Keberadaan stempel tersebut dapat dikaitkan dengan temuan Lembaga Adat Forum Komunikasi Kabali terhadap situs Masjid Togo Lamantanari di Liya Togo, Pulau Wangi-wangi Kabupaten Wakatobi di Provinsi Sulawesi Tenggara yang diperkirakan dibangun tahun 1238 orang-orang Persia beragama Islam yang terdampar di wilayah tersebut. Dapat menjadi fakta baru sejarah penyebaran Islam di Indonesia yang tidak hanya melaui Aceh yang kini dijuluki sebagai ‘Serambi Mekah’ di Indonesia.
Pascarevitalisasi, benda-benda koleksi yang dipajang di kedua gedung yang dijadikan sebagai Museum Lagaligo banyak dilatari dengan perbesaran foto dalam bentuk gambar foto cetak digital sehingga mengesankan sebagai ruang pameran, dibandingkan sebagai ruang koleksi benda-benda bersejarah.
Di ruang Sejarah Kebudayaan dan Lintas Peradaban Sulawesi Selatan misalnya, dapat disaksikan replika arca Budha Pangkewe, Dewa Pelindung yang dibuat dengan gaya kesenian Amaruwat India Selatan abad 2 – 5 Masehi. Arca ini ditemukan di Desa Sikudeng, Mamuju, ketika wilayah ini masih masuk Provinsi Sulawesi Selatan. Sejak tahun 2004, Mamuju sudah masuk daerah pemekaran Provinsi Sulawesi Barat. Gambar foto asli arca yang tidak diketahui dimana kini ditempatkan melatari lemari pajangan.
Di ruang ini juga dapat disaksikan replica Salokoa, yaitu mahkota Kerajaan Gowa abad XIV-XV yang berbentuk kuncup bunga teratai 5 kelopak dihiasi 250 mutiara merah putih, bersepuh emas.
Terdapat replica arca zaman perundagia tipe polinesia berupa patung manusia dari batu yang ditemukan di Mamuju, Jeneponto, dan kabupaten Enrekang. Ada replica arca Terracotta dari tradisi megalitik yang terbuat dari tanah liat ditemukan di Kabupaten Bantaeng. Demikian pula sejumlah replica koleksi dari zaman neolitik berkaitan dengan cara bercocok tanam, zaman mezolitik dan zaman paleolitik.
Ruang yang dilengkapi sejumlah benda replica inilah yang terasa paling menarik perhatian dibandingkan dengan ruang lainnya di dua gedung Museum Lagaligo.
Dalam lemari koleksi di ruang Budaya Islam, terdapat gambar foto Masjid Katangka sebagai masjid tertua di Sulawesi selatan yang dibangun tahun 1605, dan foto masjid Jami’ di Kota palopo yang dibangun tahun 1619 Masehi. Arsitektur kedua bangunan masjid tersebut hampir mirip. Juga terdapat koleksi sebuah kitab Al- Quran 30 juz tulisan tangan, bercap Garden of Holland, panjang 33 cm lebar 24 cm tebal 6 cm. Menggunakan tulisan kertas cap air yang disalin oleh Abdullah bin Abd.Rahman abad XIX.
Di Ruang Pedalaman Agraris, terdapat koleksi sebuah lesung terbuat dari kayu dengan panjang sekitar 6 m merupakan peninggalan keluarga Raja Tolo di Kabupaten Jeneponto. Sedangkan di Ruang Budaya Pesisir dapat dilihat gambar dan peralatan yang digunakan manusia tempo dulu dalam membuat perahu dan peralatan nelayan menangkap ikan di wilayah Sulawesi Selatan. Di sini juga ada miniatur bagang apung dan bagang tancap, perahu Phinisi dan Perahu Lambo.
Di ruang Ruang Pertumbuhan dan Perkembangan Kota, kita bisa membaca ringkasan sejarah masa lalu beberapa Kerajaan Besar yang pernah ada di Sulawesi Selatan seperti Kerajaan Gowa, Kerajaan Luwu dan Kerajaan Bone. Pascarevitalisasi, ruang di lantai I Gedung M masih terasa lengan dari benda atau pajangan koleksi. Di dalam lemari koleksi yang memuat ringkasan Kerajaan Bone inilah diletakkan beberapa Stempel Kerajaan Bone.
Sedangkan di lantai I Gedung D Museum Lagaligo, terdapat 5 lukisan sejumlah mantan Gubernur Sulawesi Selatan dalam ukuran cukup besar. Mulai dari lukisan mantan Gubernur Sulawesi Selatan H.Achmad Lamo, H.Andi Oddang, H.A.Amiruddin Pabittei, HZB.Palaguna, dan H.M.Amin Syam. Dan sebuah foto Gubernur Sulsel sekarang, H.Syahrul Yasin Limpo dalam bingkai ukuran sama besar dengan lukisan kelima mantan Gubernur Sulsel.. Sayangnya kelima lukisan wajah mantan Gubernur Sulsel tersebut hampir semua tidak mirip dengan wajah sesungguhnya. Paling parah, lukisan wajah mantan Gubernur Sulsel, H.A.Amirudddin Pabittei dan H.M.Amin Syam yang sama sekali berlainan dengan wajah mereka ketika menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan.
‘’Kelima mantan Gubernur Sulawesi Selatan ini masih punya dokumentasi foto ketika mereka menjabat sebagai gubernur, maka sebaiknya foto itu yang dibesarkan dibandingkan lukisan yang tidak mirip itu dipajang. Bisa jadi ocehan, apalagi ini museum yang selalu akan jadi sasaran banyak kunjungan banyak orang dari berbagai kalangan,’’ komentar seorang mahasiswa setelah melihat gambar mantan Gubernur Sulsel yang dipajang di lantai I Gedung D Museum Lagaligo di Komplek Benteng Ujungpandang.
Mahaji Noesa
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda