Kerajaan Sumenep Masa Pemerintahan Raja Panembahan Sumolo
Pada tahun 1762 (1762-1811 M) Kerjaan Sumenep dipimpin oleh Raden Asirudin, sesuai dengan wasiat Ratu Raden Ayu Tirtonegoro yang dicatat oleh Sekretaris Kerajaan bahwa, kelak di kemudian hari ayah ke-dua anak ini wafat, maka yang diperkenankan untuk menjadi Raja adalah anak yang lebih muda bernama Asirudin.
Setelah beberapa tahun Raden Asiruddin atau Pangeran Natakusurno menjadi Raja dengan gelar Panembahan Natakusurno atau Panembahan Sumolo, pembangunan-pembangunan mulai direncanakan, terutama adalah tempat tinggal Beliau sendiri karena yang di diaminya adalah peninggalan Ratu Tirtonegoro yang berukuran lebih kurang 8 x 10 M dan di depannya berdiri sebuah pendopo (yang sekarang dipindah berada di Asta Tinggi) yang memungkinkan bagi keluarga besar sangat sempit keadaannya.
Kiranya sangat tepat sekali dalam pandangan Beliau, bahwa yang dibangun lebih dulu adalah rumah atau tempat tinggal Beliau sendiri yang tentunya bilamana sudah Raja menempati atau mendiami rumah besar atau kecil disebut Keraton.
Akhirnya pada tahun 1200 H atau kurang lebih tahun l781 M selesailah sudah bangunan yang telah dicita-citakan, sebuah rumah (Keraton) sebagai tempat tinggal seorang Raja. Walaupun sederhana bangunan itu, namun merupakan lambang kejayaan bagi sebuah Kerajaan dan juga lambang kewibawaan. Di depannya nampak sebuah Pendopo Agung sebagai tempat Raja dan digunakan pula untuk menerima laporan, memberikan petunjuk serta perintah-perintah lainnya dan juga untuk menerima tamu dari Kerajaan lain atau pertemuan khusus dalam lingkungan Kerajaan.
Cita-cita membangun Keraton, tercapailah sudah, semua rakyat merasa senang, karena Kerajaan Sumenep telah mempunyai Keraton apalagi lengkap dengan adanya prasasti (Wasiat) dari Pangeran Natakusumo dengan Bahasa Arab yang artinya kurang lebih demikian :
Tahun Hijriyah Nabi S.A.W tahun 1200 (tahun ba’) di bulan Muharram Bangunan ( rumah ) ini adalah wakaf dari pangeran Natakusumo Raja di Negeri (Kerajaan) Sumenep, semoga mengampuni Allah kepada Beliau dan kedua orang tuanya. Bangunan (rumah) ini tidak boleh dirusak dan diwaris kepada seseorang, karena wakaf ini untuk orang fakir dan orang, miskin, dan saya menghendaki (mengharap) dari keturunan atau selain keturunan, dalam keadaan baik bangunan ini lagi kepada orang yang memegang kekuasaan (Pemerintah), semoga Allah memberi selamat dari dunia sampai akherat. Amin ya.Rabbil Alamin .
Dengan selesainya bangunan Keraton yang megah itu, rakyatnya membangun dimana-mana, baik diperkotaan maupun pedesaan, lebih lebih dibidang keagamaan diantaranya : Mushallah, Langgar dan lain-lainnya. Juga kegiatan-kegiatan seperti : pengajian di musholla, mesjid- mesjid dan di tempat lainnya banyak sekali.
Mesjid Laju (Bahasa Madura), artinya Mesjid lama, peninggalan Raja Raden Tumenggung Anggadipa tahun (1626-1644) yang pada saat itu adalah sebagai Mesjid Jamik, sudah tidak mampu lagi menampung jemaahnya, sehingga bilamana shalat jum’at, sampai meluas ke halaman luar. Dengan adanya hal yang demikian rupanya bagi Pangeran Natakusumo menjadi problema atau persoalan baru yang harus segera di tangani, karena kalau tidak akan membuat gelisah bagi rakyat khususnya dalam perkotaan. Maka pada suatu hari Pangeran Natakusumo mengadakan musyawarah dengan para Alim Ulama, Sesepuh dan Tokoh Masyarakat merencanakan mendirikan sebuah Mesjid baru. Beliau hanya mengharapkan bantuan dan dukungan baik tenaga atau fikiran sebagaimana pada waktu mendirikan Keraton, apalagi Mesjid ini adalah kepentingan seluruh Umat Islam, sehingga dalam musyawarah itu semua sepakat dan sangat menyetujui untuk mendirikan sebuah Mesjid yang besar, guna dijadikan Mesjid Jamik sebagai (central/pusat) bagi semua Mesjid yang berada diseluruli Kerajaan Sumenep. Begitulah keadaan sudah memanggil, bersamaan dengan selesainya bangunan Keraton, mulailah pendirian bangunan Mesjid Jamik tahun (1200 Hijriyah) atau tahun (1769 Masehi).
Pendirian bangunan Mesjid Jamik sangat berbeda dengan adanya bangunan Keraton Sumenep, walaupun Raja Panembahan Sumolo sama-sama membangun atas nama pribadinya, Beliau adalah orang yang berpangkat Waliyallah, pasti dan jelas tahu memisahkan mana kepentingan dunia dengan mana kepentingan akherat. Beliau tidak akan lebih berat terhadap kepentingan dunia dari pada kepentingan agama, sehingga bangunan Mesjid itu pendiriannya memakai arsitek Cina, dan arsitek tersebut, adalah termasuk bagian yang terbaik pada waktu itu di Nusantara. Selain itu bahan-bahannyapun tidak akan salah pilih, sampai-sampai terhadap cara menyusun batu temboknya, bahan perekamya tidak hanya memakai air biasa, tetapi tanah dan kapurnya dicampur dengan air nira (la’ang : Bahasa Madura) sehingga hasil temboknya sekeras batu. Sesungguhnya hal yang demikian memang tidak wajar karena air nira sangat jarang didapat, dan sukar dicari. Namun manusia yang dekat dengan Tuhannya tak akan jauh dari Rahmat dan pertolongan-Nya, yang tidak akan mungkin menjumpai kesulitan apa yang dihadapinya.
Terselesainya bangunan Mesjid itu menghabiskan waktu enam tahun lamanya dari tahun 1200 sampai tahun 1206 hijriyah adalah waktu yang benar-benar menguras tenaga dan fikiran.
Namun walaupun demikian Pangeran Natakusumo (Raja panembahan Sumolo) beserta semua rakyatnya, lebih-lebih yang ikut membantu mendirikannya sangat puas rasanya, sehingga tak terkira kesenangannya.
Mesjid yang baru selesai dibangun pada waktu itu, banyak orang menyebut dengan nama Mesjid Anyar, karena keberadaan sesudahnya Mesjid Laju (bahasa Madura) artinya Mesjid Lama. Namun lama kelamaan Mesjid Anyar itu berubah namanya dan ditetapkan menjadi Mesjid Jamik, karena baik masyarakat Perkotaan atau Pedesaan, khususnya pada hari jum’at orang berduyun-duyun bersembahyang di Mesjid itu. Selain itu, juga menjadi panutan semua Mesjid yang ada di seluruh Kerajaan Sumenep, terutama dalam penentuan hari pertama di Bulan Puasa dan Hari Raya juga termasuk Hari-Hari Besar Islam lainnya. Maka wajar dan pantas kalau Mesjid Jamik itu yang dibangun oleh Pangeran Natakusumo (Raja Panembahan Natakusumo) menjadi sentral atau pusat dan panutan dalam segi peribadatan.
Kemegahan dan keindahan Mesjid Jamik itu, didukung pula dengan adanya pintu besar yang berbentuk Gapura, dan dari sangat besarnya pintu Gapura iu, sehingga disebelah dalam pintu itu, dibagian samping kanan dan kirinya masing-masing ada kamarnya.
Dan yang paling utara untuk tempat peti uang kas Mesjid, yang masing-masing peti itu diberi tiga macam gembok, sedang kuncinya yang memegang yaitu dari Penghulu sebagai Takmir Mesjid, juga dari Patih sebagai pihak Kerajaan, serta kunci satunya dipegang Hakim Pengadilan Agama dari pihak petugas hukum, sehingga benar benar nampak kepermukaan, khususnya untuk jema’ah Mesjid itu sendiri agar mengetahui bahwa benar-benar adanya kehati-hatian dan keterbukaan. Sedang kamar yang bagian selatan tempat Keranda (katel : Bahasa Madura).
Memang benar kalau ada sebagian orang menilai keberadaan Keranda (Katel) ada dikamar pintu Mesjid itu, kurang benar penempatannya, karena selayaknya barang itu umumnya ada didekat tempat tempat kuburan. Tetapi penilaian orang yang semacam itu hanya menilai berdasarkan apa yang dilihatnya saja, hanya menilai di satu sisi, tidak menilai sisi lain dalam arti disertai pikiran dan renungan secara jernih, yang sesungguhnya ada hikmah apa di balik itu.
Memang demikian kalau hanya menilai sepintas lalu, apalagi tidak mau berpikir lebih jauh secara jernih, karena mata, telinga, dan hatinya sudah tertutup dengan macam-macam sandiwara kehidupan, sehingga dirinya disibukkan untuk melayani kehidupannya sebagai lakon sandiwara yang beraneka ragam, yang .ikhirnya tidak akan bisa berpikir secara jernih untuk membawa dirinya menilai dan berfikir kearah yang lain yaitu alam kubur.
Sebenarnya keberadaan dua kamar yang dikanan-kirinya pintu Mesjid Jamik itu, jika dilihat dari dalam dan difikir secara jernih dan benar-benar direnungkan secara mendalam, akan terlihat dengan jelas bahwa kamar yang disebelah kiri adalah tempat uang (untuk urusan duniawi) sedangkan kamar dibagian kanan adalah tempat keranda (untuk urusan akherat) yang sudah tentu jelas merupakan suatu isyarat atau petunjuk yang nyata, bagi insan yang hendak berpikir dan menghayatinya. Rupanya hal itu memang banyak yang tidak tahu atau merasa bahwa dua kamar itu merupakan suatu hikmah bagi mereka yang sudah selesai beribadat, karena setelah keluar dari Mesjid dirinya akan menghadapi dua kenyataan, yaitu menghadapi urusan keduniaan dan keakheratan.
Sesungguhnya memang jarang manusia akan selalu ingat tentang dirinya bahwa masih ada urusan kematian dikemudian hari, yang sudah pasti akan dialaminya, karena pikirannya telah diselimuti oleh tekanan-tekanan kehidupan yang harus begini dan harus begitu. Tetapi ada juga manusia yang ingat bahwa dirinya akan menghadapi kematian, tetapi hanya ingat sekedar ingat, namun cukup terlintas dalam pikirannya, sesudah itu hilang musnah tak berbekas bagaikan tidak ada artinya apa kematian itu yang sebenarnya, karena pikirannya sudah penuh dengan bayangan bayangan tekanan kehidupan.
Memang sungguh tak terduga bangunan Mesjid Jamik Baru, yang berada disebelah barat alun alun berdiri dengan megah dan indahnya, kalau dipandang akan terasa ada getaran jiwa, mungkin juga ingin menuju Pintu Mesjid yang berbentuk Gapura sebagai tempat berbakti kepada Yang Maha Kuasa, ingin bertobat, ingin ampunan, karena dosa-dosanya. Pintu Gapura (Bahasa Arab) artinya pengampunan. Selain itu Mesjid Jamik yang luasnya kurang lebih panjang dan lebarnya sama-sama seratus lima puluh meter juga dikelilingi tembok setinggi dua setengah meter yang tujuannya hanya untuk bagi yang beribadah agar tidak mengetahui keadaan di luar, dan benar-benar akan menyatu dengan Khaliqnya.
Dua bangunan yang didirikan oleh Pangeran Natakusumo Mesjid Jamik dengan Keraton, yang diantara bangunan itu ditengah tengah ada alun-alun, yang sesungguhnya banyak mengandung filosofi, banyak mengandung makna yang hakiki, sebab kalau tidak, mungkin saja Beliau membangun Mesjid, ditempatkan diselatan alun alun, atau diutaranya, atau mungkin dimana saja yang dikehendakinya. Beliau merancang bentuk dan penempatannya, bukan hanya sekedar merancang, bukan menempatkan di sembarang tempat, tidak sebatas dan sesempit itu, tapi benar benar Beliau merancang karena Allah Yang Maha Kuasa sehingga sesuatunya benar benar mendapatpetunjuk dan pertolongan-Nya. Sungguh jauh berbeda, kalau segala sesuatunya tidak berdasarkan karena Allah, hanya berdasarkan hasil penganalisaan pandangan lahiriah untuk mencapai keindahan dalam modernisasi, yang tentunya hasilnya tidak akan lebih, hanya akan menambah silaunya mata, untuk urusan akhirat.
Pangeran Natakusumo mendirikan Mesjid Jamik, yang sangat megah dan indah kelihatannya sungguh melebihi bangunan Keraton dengan Pendoponya yangbenar-benar lebih mengutamakan tempat sujud (Mesjid) daripada tempat yang didiaminya, karena Beliau tidak ddampingi nafsu ingin dipuja dan dipuji, disanjung dan diagungkan, sehingga ciptaannya benar-benar menghasilkan kharismatik yang sangat kuat, lebih-lebih adanya dua prasasti (wasiat) yang tertulis dengan Bahasa Arab, kurang lebih terjemahannya sebagai berikut:
Yang pertama.
Yang membangun Mesjid ini adalah Pangeran Natakusumo dinegeri / Kerajaan Sumenep dan selesai di Bulan Ramadhan tahun H dan dijadikan wakaf atas jalan Allah di dalam memulai pekerjaan kebajikan untuk shalat yang bertujuan taat kepada Allah dan selesainya Mesjid tahun Hijrah Nabi S.A.W. (1206).
Yang kedua
Mesjid ini adnlnh Baitullah , bersabda Pangeran Natakusumo penguasa di negeri / Kerajaan Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (selaku penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat Mesjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Sesungguhmja Mesjid ini adalah wakaf, jangan diwariskan dan jangan dijual serta jangan dirusak.
Raden Asiruddin (Pangeran Natakusumo) sebagai Raja dengan gelar Panembahan Natakusumo atau Panembahan Sumolo adalah seorang manusia yang berjiwa pejuang yang suci, berjuang untuk membangun rakyatnya, agar mencapai kemakmuran dan ketentraman, dari dunia sampai akherat, sehingga benar-benar nampak hasil pembangunannya, baik di segi keduniaan maupun keagamaan. Hal itu terbukti dengan selesainya bangunan Keraton dengan Pendopo Agungnya, dan Mesjid Jamik dengan pintu Gapuranya, yang sudah tentu menunjukkan, bahwa disaat itu rakyatnya benar-benar telah merasakan keadilan dan kemakmuran.
Sekitar tahun 1215 H atau tahun 1796 M, Raja Panembahan Natakusumo, setibanya bepergian dari Semarang sebagaimana biasa mengadakan pertemuan di Pendopo Agung yang dihadiri oleh semua Patih dan Mentrinya dan orang penting lainnya guna membicarakan jalannya pemerintahan untuk meningkatkan kejayaan dan kemakmuran yang telah dicapai. Biasanya Raja terlebih dahulu menerima laporan dari hasil kerja para Mentri dan Patihnya juga dari pendapat orang penting lainnya sebagai tambahan masuk untuk mencapai apa yang dicita-citakan rakyatnya. Setelah sselesai akhirnya Raja Panembahan Natakusumo memberikan perintah atau tugas dan petunjuk, dan bagi masing-masing yang mendapat perintah mereka menerima dengan kata-kata khusus yang disertai suara lemah lembut dengan diiringi sembah bhakti sebagai pertanda siap untuk mengemban segala perintahnya. Kiranya hampir selesai pertemuan itu, tiba-tiba datang beberapa orang dari Desa Tanjung Kecamatan Seronggi, setelah menghaturkan sembah bhakti langsung memberitahukan bahwa di Pelabuhan Tanjung, didatangi sebuah kapal laut besar beserta prajuritnya yang sudah turun berada di sekitar pelabuhan, dan menurut berita yang diterimanya adalah kapal perang Inggris, untuk menyerang Kerajaan Sumenep.
Sungguh mengherankan keberanian Raja Panembahan Natakusumo pada waktu itu, karena sewaktu menerima berita atau Inporan dari rakyatnya, wajah Beliau tetap tegar, tidak merasa gentar atau khawatir sedikitpun, padahal lawannya adalah prajurit-prajurit Inggris yang tangguh, dan lengkap dengan alat perangnya, bukan alat perang semacam pedang, keris, golok, atau alat tajam lainnya, tapi segala macam senjata api baik yang ringan maupun berat, sebagai modal utamanya untuk membunuh musuhnya dengan jarak dekat maupun jauh.
Maklumlah Beliau seorang Waliyallah, apa yang akan terjadi tidak sulit untuk mengetahui dan mengatasinya, sehingga sungguh benar kalau Beliau tidak merasa terkejut atau khawatir atas kedatangan angkatan laut perang Inggris, karena kebulatan iman dan keyakinan Beliau bahwa ajal atau mati tidak ada diujung keris, atau pedang, atau diujung senjata api ringan atau berat, tetapi tetap ada di dalam kekuasaan Tuhan Yang Maha Agung. Bagi Tuhan untuk mencabut nyawa seseorang kapan saja yang dikehendakinya tidak memerlukan atau butuh bantuan kepada pedang atau keris, senjata api atau apa saja yang ada di alam ini karenan kebesaran kekuasaan-Nya yang tidak ada batasnya.
Entah dengan petunjuk apa yang diterima oleh Beliau, karena p.ida waktu menerima laporan bahwa Kerajaan Sumenep akan diserang cukup hanya memerintahkan semua Patihnya, yang kebetulan disaat itu masih ada di pendopo untuk mengusir prajurit-prajurit Inggris. Untuk memimpin jalannya perang menunjuk patihnya yang bernama Kiyai Mas Ngabei Mangundirejo.
Dengan adanya perintah yang sangat mendadak itu, karena keadaannya memang demikian, maka berangkatlah Patih dengan semua prajuritnya tanpa dibekali cara-cara atau siasat bagaimana nantinya sesampainya di medan perang.
Tetapi akhirnya benar-benar prajurit Kerajaan dapat memukul mundur pasukan atau prajurit Inggris sehingga bagi yang masih hidup kembali ke kapalnya, dan menghilang ke arah selatan entah kemana perginya. Namun demikian pada saat itu rakyat Sumenep sangat berduka cita karena Kerajaan Sumenep kehilangan Patihnya yang sangat setia. Beliau wafat pada hari Jum’at tanggal 10 Rajab 1215 H atau tahun 1796 M dan dimakamkan didataran tinggi Kebunagung dekat dengan pemakaman atau kuburan Raja-Raja Sumenep.
Sungguh mengagumkan kepribadian Pangeran Natakusumo mungkin semangat membangun keduniaan dan keakheratan, bagaikan orang pencari ilmu, tidak peduli sejauh mana tempat ilmu itu, seujung rambutpun tak akan mundur langkahnya, selama hayat masih dikandung badan sungguh tidak akan berhenti membangunnya.
Dipinggiran sebelah barat kota Sumenep, disebuah dataran tinggi di Desa Kebunagung, kalau memandang jauh kesana akan terlihat berdiri dengan tegaknya tiga buah bangunan rumah (Kubah), yang jauh dari keramaian dan terpencil dari perkampungan, seakan-akan sudah lama ditinggal oleh penghuninya. Disamping bangunan itu selain batu besar yang nampak, juga kuburan orang-orang yang telah wafat tak dikenal siapa sesungguhnya. Pada waktu itu sungguh membawa kesan bagi orang orang yang pergi kesana, kalau melihat keadaanya, karena disamping kanan kirinya, tidak ada batas atau pagar, sehingga hanya terlihat hamparan batu-batu besar yang dibatasi oleh hutan belukar yang luas. Itulah tempat Raja-Raja yang disemayamkan.
Raja-Raja Sumenep yang disemayamkan (dimakamkan) ditempat itu, masing masing berada didalam sebuah Kuba yang berukiran indah; diantaranya : Kuba bagian utara adalah Raja Pulang Jiwo dan Raja Wiro Sari (Seppo) beserta Pangeran Anggadipa dan Pangeran Rama, dan Kuba yang bagian selatan adalah Pangeran Jimat beserta saudaranya diantaranya Ratu Ari (Raden Ayu Adipati Saccadiningrat) dan Ratu Wirawangsa (Ibunya Pangeran Lolos.) Sedang disebelahnya adalah Kuba yang bersemayam Raja Raden tumenggung Tirtonegoro (Raden Mohammad Saud) dengan istrinnya Raden Ayu Tirtonegoro. Dan Kuba-Kuba tersebut adalah peninggalan Raja Tumenggung Kanduruan beserta Pangeran Lor dan Pangeran Wetan.
Mungkin dengan keperduliannya yang sangat tinggi terhadap pembangunan, atau mungkin juga selalu ingat kepada leluhurnya (jasa jasa Raja Sumenep) yang telah wafat mendahuluinya, maka pada suatu waktu makam Raja-Raja Sumenep oleh Pangeran Natakusumo diperbaiki dan diberi pagar batu tembok yang tingginya kurang lebih 7 (tujuh) meter dengan panjang dan lebarnya sama sama berukuran kurang lebih 150 meter. Dan lagi tepat ditengah tengah, memanjang dari utara sampai keselatan, juga diberi pagar batu tembok, sehingga keadaannya nampak terbagi menjadi dua bagian, InsyaAllah untuk menunjukkan bahwa bagian barat adalah makam (kuburan) dari akhir keturunan Raja Pangeran Wetan, karena yang menjadi Raja terakhir adalah Ratu Raden Ayu Tumenggung Tirtonegoro tidak mempunyai Putera atau keturunan.
Dengan adanya pagar batu tembok, yang susunan atau tatanan batunya antara satu dengan yang lainnya tidak terlihat adanya bahan campuran tanah sebagai perekatnya maka menandakan yang mendirikan (membangun) adalah orang yang selalu dekat dengan Tuhannya, sebab kalau orang awam, sukar untuk berdiri dengan tegak pagar yang setinggi itu.
Pada tanggal 10-Rajab-1227 Hijriyah atau tahun 1808 Masehi tempat pemakaman (kuburan) yang disebelah timur dibangun sebuah Kuba yang besar oleh Sultan Pakunataningrat putera Pangeran Natakusumo atau Panembahan Sumolo, sesuai dengan harapan ayahnya Dan selama kurang lebih tiga tahun Kuba itu dibangun, Beliau (ayahnya) sempat mengetahui dan melihat adanya Kuba yang belum selesai. Karena pada tahun (1230) Hijriyah atau tahun (1811) Masehi, Raja Panembahan Sumolo wafat dan di semayamkan di dalam Kuba itu. Dan tempat itu mulai disebut Asta Tinggi.
Kubah Pesarean Raja Panembahan Sumolo
Pusawi Adijaya
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda