Minggu, 11 Maret 2012

Antara Rue Soekarno di Kota Rabat dan Nasionalisme Bangsa

Maroko atau negeri seribu benteng disebut juga dalam bahasa arab Al Mamlakah al Maghribiyah (Negeri matahari terbenam), dikarenakan intensitas penyinaran matahari di negara ini terbilang sedikit. Sedangkan penduduk asli negeri ini adalah suku Barbar. Karena keunikan dari segi karakter, pakaian, dan tempat wisata, menyebabkan ramainya turis eropa berwisata ke Maroko.



Jika anda bertandang ke Maroko, ada banyak kota yang menarik untuk dikunjungi. Diantaranya, Rabat sebagai pusat pemerintahan yang memiliki kebun sebagai taman botani, museum dan teater, juga juga terdapat menara Hassan setinggi 44 m, sebuah makam kuno Chellah makam yg besar dan indah, Royal Palace Mohamed V . Casablanca sebagai ibukota perekonomian yang memiliki dua bagian, yaitu kota tua (medina qodim) dan kota baru (medina jaded). Kota tua dikelilingi oleh dinding-dinding benteng peninggalan dari sejarah dan dikelilingi oleh pelabuhan. Sedangkan Kota baru dibangun oleh Perancis. Pusat kota Casablanca baru bernama Place Mohammed V dengan bangunan dibuat dengan gaya Moor. Meknes yang ternkenal dengan keeksotikan benteng dan bangunan Romawi yang masih kokoh berdiri. Marrakesh (Red City, adalah kota wisata unggulan Maroko), Fes (kota terbesar ketiga di Maroko dan di sebut juga kota pelajar. Ifrane, Essaouira, El- Jadida (kota pelabuhan bersejarah di Maroko), Ouarzazate sebagi kota yang sering dikunjungi wisatawan. Khususnya di kota Ouarzazate beberapa insan film Holywood memanfaatkan lokasi ini sebagai lokasi shooting. Cuacanya panas dan kering pada musim panas dan sangat dingin pada musim dingin dengan salju di puncak gunung Atlas.


Ouarzazate Film Studios telah menghasilkan banyak film, di antaranya Lawrence of Arabia (1962), Star Wars (1977), The Living Daylights (1987), The Last Temptation of Christ (1988), The Mummy (1999), Gladiator (2000), Martin Scorsese’s Kundun (1997), dan Legionnaire (1998). Tetuoan yang merupakan kota kuno di Maroko, berbatasan dengan selat giblatar dan selanjutnya berbatasan dengan Spanyol. Tanger tempat kelahiran Ibnu Battutah seorang musafir yang mengembara hingga ke Samudera Pasai Aceh. Tanger juga merupakan pusat kedua industri di Maroko setelah Casablanca. Agadir yang merupakan salah satu pelabuhan penting di Maroko.



Menelusuri kota Rabat yang di penuhi oleh bangunan-bangunan tua nan kokoh peninggalan masa penjajahan Perancis dan Spanyol memberikan kesan tersendiri di hati saya. Bangunan-bangunan kuno tersebut masih terawat dengan baik dan dipergunakan hingga kini. Pembangunan di Maroko juga terlihat merata, artinya meskipun Rabat adalah ibukota negara, namun tidak terkesan mencolok sendiri.



Ada nasionalisme yang semakin tumbuh kuat ketika kami menelusuri lebih dalam lagi bagian jantung kota Rabat. Tepat diperempatan jalan utama Mohamed V terukir dengan apik tulisan Rue Soekarno. Dalam bahasa Perancis Rue bermakna jalan. Rue Soekarno merupakan bukti nyata penghargaan yang tulus dari Raja Mohamed V serta rakyat Maroko kepada Bangsa Indonesia terutama presiden pertama kita Ir. Soekarno atas perannya sebagai Bapak revolusi dan memberikan inspirasi bagi negara-negara di kawasan Asia, Afrika dan Amerika latin bahwa kemerdekaan adalah hak seluruh Bangsa. Maka jangan heran Jika kita mengatakan berasal dari Indonesia, mereka langsung “nyambung”, “aa…Andonessie…!!Soekarno!!”. Bahagia rasanya meskipun di Maroko jumlah masyarakat Indonesia terbilang sangat minim, namun nama Indonesia sangat terkenal di sini.




Hal ini tentu tak lepas dari sejarah panjang titik awal hubungan diplomatik antara Maroko dengan Indonesia yang dijalin pada masa pemerintahan Soekarno. Sekitar tahun 1950-an beberapa pejuang kemerdekaan Maroko melakukan perjuangan diplomasi hingga ke Indonesia. Saat itu Maroko masih menjadi wilayah jajahan Perancis. Sedangkan Indonesia tengah bersemangat menyuarakan kemerdekaan terutama untuk wilayah Asia-Afrika. Tepat pada saat Indonesia menjadi tuan rumah dari sebuah forum internasional yaitu KTT Asia Afrika 18 april 1955 yang di selenggarakan di Bandung. Saat itu presiden Soekarno mengundang para pejuang kemerdekaan Maroko ini untuk ikut serta dalam konferensi tersebut. Kala itu tindakan Soekarno di anggap sebagai kebijakan yang tidak populer dalam tatanan diplomasi perpolitikan di era 50-an. Bahkan perwakilan pejuang kemerdekaan ini nekat mengibarkan bendera Maroko dalam forum resmi internasional tersebut. Tak salah jika Ruslan Abdulgani pernah menulis di dalam bukunya yang berjudul Bandung Connection; “Bandung sebagai tempat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika, terlihat juga sebagai kota penghubung, pusat koneksi dari negara-negara dan rakyat Asia Afrika dalam menyusun kesetiakawanan. Utusan dari pejuang-pejuang Asia Afrika hadir di kota ini, yaitu utusan-utusan yang dapat meloloskan diri dari kepungan dan belenggu penjajahan di Afrika Selatan dan Afrika Tengah, pelarian-pelarian politik dari Aljazair, Maroko, Tunisia, pejuang-pejuang dari Palestina serta kaum intelek dari Malaya yang pada waktu itu belum merdeka”.



Meskipun negara penjajah menggangap presiden Soekarno menyalahi aturan, namun sebaliknya, bagi rakyat Maroko yang sedang dijajah saat itu, respon presiden Soekarno justru merupakan angin segar bagi mereka. Kira-kira setahun setelah KTT Asia Afrika Bandung, rakyat Maroko mendeklarasikan secara resmi kemerdekaannya atas Perancis, tepatnya pada tanggal 2 Maret 1956.



Tidak hanya berehenti disitu, Indonesia terus melanjutkan dukungan diplomatiknya atas kemerdekaan Maroko secara tertulis dengan mengutus Bapak Mohammad Natsir Datoek Pamoentjak yang menjabat sebagai Duta Besar RI di Manila pada masa itu untuk menyerahkan surat kredensial kepada Mohamed V selaku raja Maroko.



Dua minggu setelah penyerahan surat pernyataan tersebut, pada hari senin 2 Mei 1960 atas undangan Raja Maroko, Presiden Soekarno berkunjung ke Maroko. Di dalam sejarah negara Maroko, Presiden Soekarno tercatat sebagai presiden dari negara asing pertama yang melakukan kunjungan diplomatik ke Maroko pasca kemerdekaannya. Raja Maroko menganugerahi Presiden Soekarno dengan Orde du Tronte (bintang mahkota) dengan gelar Pahlawan kemerdekaan dunia Islam. Kemudian di lanjutkan dengan peresmian Rue Soekarno di pusat kota Rabat oleh presiden Soekarno. Tidak hanya itu, Raja Mohamed V juga menawarkan berbagai hadiah kepada Presiden Soekarno, dan ia boleh memilih apa saja, karena Raja memang merupakan penguasa penuh atas Maroko. Namun sungguh Presiden Soekarno tidak hanya memikirkan kepentingan pribadinya saja. Ia justru lebih memprioritaskan warga negaranya dengan mengajukan permintaan agar setiap warga negara Indonesia yang berkunjung ke Maroko di bebaskan dari VISA, dan Raja pun mengabulkannya. Oleh sebab itu hingga kini jika kita berkunjung ke Maroko tidak ada beban membayar VISA selama tiga bulan. Namun sayang tidak banyak orang Indonesia yang memanfaatkan peluang ini, bahkan banyak yang tidak mengetahui keberadaan Maroko. Jumlah mahasiswa asal Indonesia di Maroko juga hanya berkisar 150 orang, dari tingkat strata satu hingga program doktor. Padahal setiap tahun pemerintah Maroko menawarkan 15 beasiswa kepada Indonesia melalui Kementrian Agama. Mungkin karena letaknya di benua Afrika, membuat beberapa mahasiswa kurang berminat melanjutkan studi ke sana, akan tetapi lebih memilih Mesir atau Medinah sebagi kiblat ilmu agama Islam. Mungkin jika di total jumlah masyarakat Indonesia yang ada di Maroko selain mahasiswa (staff KBRI, diplomat dan pekerja) hanya 170 orang saja.



Rue Soekarno di jantung kota Rabat adalah jalan resmi, bukan nama jalan yang hanya diambil begitu saja, Bagi rakyat Maroko ini menjadi bentuk ungkapan terima kasih, sedangkan bagi Bangsa Indonesia menjadi salah satu media yang mampu membangkitkan nilai-nilai nasionalisme Bangsa. Semoga kita dapat memanfaatkan semaksimal mungkin kemudahan yang telah dirintis oleh Presiden Soekarno dengan pemerintah Maroko, terutama di bidang pendidikan.

Cut Zamharihara

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda