Artikel ini merupakan “resume” penelitian naskah klasik Islam Minangkabau yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya-Adab (Kelompok Pecinta Naskah Kuno) di beberapa tempat di Sumatera Barat, salah satunya di Pasaman. Kelompok yang memiliki motivasi dan militansi “berburu” naskah klasik Islam ini telah mampu melakukan “mapping” dan digitalisasi beberapa naskah klasik Islam. Mereka ini adalah “manusia langka” dalam “ranah keilmuan” yang langka pula. Fakultas Adab IAIN Padang, termasuk saya, merasa beruntung memiliki mahasiswa seperti mereka.
Tak ada sumber otentik yang berbicara secara langsung mengenai Tuanku Mudik Tampang, siapa beliau. Dari gelar nama beliau, dapat dimengerti bahwa nama itu hanya berupa gelar kehormatan, yaitu terdiri dari kata “Tuanku” dan “Mudik Tampang”. Tuanku ialah gelaran yang biasa dipakai untuk orang-orang besar, di Minangkabau dikenal sebagai gelar Ulama. Sedangkan “Mudik Tampang” ialah nama daerah, yaitu sebuah distrik kecil di Tanah Rao. Jadi gabungan dua istilah ini memberikan pengertian bahwa sang Syekh berasal dari Mudik Tampang, Rao.Menurut salah satu sumber oral yang ditemui, Bapak Nasaruddin Hasibuan, sang Syekh Tuanku Mudik Tampang lahir dimasa tuan Syekh Abdurrauf Singkel (guru dari Syekh Burhanuddin Ulakan yang terkenal) masih hidup. Beliau digelari dengan panggilan Syekh nan Bacukua Sabalah, yaitu sebuah gelar yang mengungkap kekeramatan sang Syekh, menghilang dari kampungnya dan langsung tiba di Mekkah untuk memadamkan kebakaran dalam keadaan bercukur sebelah. Beliau seangkatan dengan ulama-ulama besar paruh abad ke-18 dan ke-19, diantaranya Tuan Syekh Muhammad Shaleh “Beliau Munggu” Padang Kandih Lima Puluh Kota, yang masyhur namanya di Tiga Luhak dalam ilmu Tarekat dan Hakikat (ayah yang Mulia Syekh Abdul Wahid “Beliau Tabek Gadang”); Maulana Syekh Ibrahim Kumpulan, masyhur sebagai guru besar Tarekat Naqsyabandiyah di abad ke-19. Beliaupun punya hubungan dengan Tuanku Rao, pimpinan Paderi yang dikenal dalam historiografi Batak dengan nama si Pokki Nangolngolan Sinambela.
Walaupun riwayat hidup beliau masih kabur, namun ada satu sumber yang memberikan sedikit informasi mengenai sang Syekh Mudik Tampang, sumber itu ialah Hikayat Jalaluddin, merupakan salah satu sumber lokal yang langka mengenai Paderi. Dinama Syekh Jalaluddin Ahmad Faqih Saghir menyebutkan : …akan halnya cerita ini perimenyatakan asal kembang ilmu syari’at dan hakikat dan asal teguh larangan dan pegangan dan asal berdiri Agama Allah dan agama Rasulullah.……adalah seorang Auliya’ Allah yang kutab lagi kisyaf lagi mempunyai keramat yaitu orang tanah Aceh Tuanku Syekh Abdurra’uf, orang masyhurkan ia mengambil ilmu dari pada tuan Syekh Abdul Qadir Jailani. Itupun ia mengambil tempat di negeri Madinah tempat berpindah nabi kita Muhammad Rasulullah ‘alaihi wa sallam yaitu bimbing menghafazkan ilmu syari’at dan ilmu Hakikat ialah menjadi pintu ilmu sebelah pulau Aceh ini. Maka digarakkan Allah berlayar ia dikepala tempurung menjelang negeri Aceh adanya. Maka kemudian dari itu turunlah ilmu Tarekat ke negeri Ulakan kepada auliya’ Allah yang mempunyai keramat lagi mempunyai derajat yang a’la, ialah pergantungan ilmu tahqiq, ikutan dunia akhirat oleh segala makhluk di sebelah tanah ini. Maka berpindahlah Tarekat ke Paninjauan. Lalu kepada tuanku Mansiang nan Tuo. Segala surat-surat ia memakaikan tertib majlis lagi wara’ seperti Tuanku nan di Ulakan jua halnya. Maka dimasyhurkan orang pula Tuanku nan Tuo di negeri Kamang. Ia telah menghafazkan ilmu alat. Dan Tuanku di Lambah dan serta Tuanku di Puar, yang mempunyai keramat lagi beroleh limpah dari pada Tuanku di Paninjauan, orang Empat Angkat jua adanya. Maka Tuanku di Tampang di Tanah Rao datang dari negeri Madinah membawa ilmu mantiq dan ma’ani… (hal. 5-6). Dari keterangan Faqih Shaghir ini diketahui bahwa Tuanku Mudik Tampang masyhur namanya sebagai pemuka-pemuka ulama, khususnya di abad ke-18. beliau pernah belajar di Hejaz (Mekah dan Madinah), sehingga terkenal beliau sebagai ulama yang ahli dalam ilmu bahasa Arab, mantiq dan ma’ani. Selain itu beliau juga dikenal sebagai salah seorang Ulama Tarekat Naqsyabandiyah, hingga sekarang di surau bekas peninggalan beliau beratus-ratus orang, laki-laki dan perempuan, melaksanakan suluk dan wasilah.
Sebagai salah satu pusat pendidikan Islam tertua di tanah Rao, yang dipimpin oleh ulama besar Tuanku Mudik Tampang, surau Mudik tampang telah memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam, khususnya di Rao, umumnya di utara Minangkabau tersebut. Ketokohan dan kesantunan dakwah yang dimiliki Tuanku Mudik Tampang, telah menjadi daya tarik tersendiri bagi para santri untuk datang menuntut ilmu ke Rao, menta’zhimi yang ‘Alim Beliau Mudik Tampang. Apatah lagi dalam upaya mengislamkan daerah-daerah perpaduan budaya Minang dan Batak itu. Selain menggembleng masyarakat dengan ilmu yang mendalam tentang Islam, Syekh Tampang juga mengajar masyarakat khusus untuk mengenal Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya lewat pengamalan Tarekat Naqsyabandiyah, dengan melakukan Suluk disetiap tahunnya. Sampai sekarang, sudah beberapa lewat generasi, ratusan orang masih bersuluk Tarekat Naqsyabandiyah setiap tahunnya. Sekarang, komplek surau Tuanku Mudik Tampang telah disulap menjadi Pesantren, dengan nama Pesantren al-Qur’an Darul ‘Ulum Rao, sebagai pelanjut cita-cita sang Syekh, pemenuhi tanah Rao di masa lalu.
“Kekayaan intelektual Naskah kuno Islam Rao”, tim Naskah Klasik Islam Minangkabau (mahasiswa Fak.Ilmu Budaya - Adab IAIN Padang) menyisir tiap-tiap naskah peninggalan Tuanku Syekh Mudik Tampang.
Naskah-naskah Tua Rao : Inventarisasi Manuskrip Surau Tuanku Mudik Tampang
Sebagai halnya ulama-ulama yang hidup di awal berkembangnya pendidikan Islam di Minangkabau, maka tak ayal lagi Tuanku Mudik Tampang memiliki khutub khannah manuskrip. Apatah lagi Tuanku Mudik Tampang yang terkenal sebagai ulama yang pernah menuntut di Mekah Medinah, sedang dimasa-masa abad itu segala macam keilmuan Islam tertulis dalam bentuk makhtuthat (tulisan tangan), begitu pula ketika mengimla’ perkataan-perkataan guru, juga dengan tangan belaka. Indikasi yang ditemui di Surau Tuanku Mudik Tampang Rao bahwa dulunya skriptorium ini banyak menyimpan naskah-naskah Tua, ini terlihat dari tata ruang Surau yang dibuat begitu artistik. Di Mihrab surau terdapat sebuah ruang khusus Syekh. Di seluruh bagian dinding inilah ditemui rak-rak, yang cukup menampung ratusan kitab. Namun yang ditemui hanya puluhan manuskrip dari ratusan yang diperkirakan. Menurut salah satu sumber yang pernah ditemui, bahwa sewaktu sang Syekh dulu meninggal dunia, banyak diantara murid-muridnya yang mengambil kitab-kitab tersebut, apakah sebagai kenangan dengan sang guru atau memang ingin menggali ilmu yang terkandung di dalamnya, yang jelas naskah-naskah itu telah raib dari tempat penyimpanannya. Sebahagian kecil naskah-naskah yang tertinggal untuk selanjutnya di simpan di atas loteng (minang: pagu). Setelah hampir ratusan tahun tersimpan tanpa ada yang mengusik itulah Tim Sastra mencoba menyelamatkan kembali naskah-naskah tua itu, menginggat usia yang sudah tua yang satu saat bisa membuat naskah tersebut rusak dan akhirnya hancur ditelan zaman. Kemudian naskah-naskah tua tersebut diturunkan satu persatu dari tempat penyimpanannya. Setelah semua naskah dikeluarkan, maka terkumpullah sebanyak 32 manuskrip, kebanyakannya sudah tidak lengkap dimakan rayap. Kemudian naskah-naskah itu dibersihkan untuk di simpan selanjutnya.Apria Putra, Muhammad Ilham, Chaerullah
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda