Mengintip Jejak Abu Nawas di Aceh
RASANYA kita tidak percaya jika mereka yang maju sebagai calon dalam Pilkada Aceh kali ini adalah mereka yang memang terpanggil hatinya karena melihat, merasa, menimbang akan negeri yang diambang “kepunahan” ini. Ini tidak lain karena pengalaman buruk dan janji-janji palsu yang diperbuat oleh para pemimpin terdahulu.
Karena itu pula kemudian, kita sebagai rakyat merasa apatis dan bahkan ada berkata: “Terserahlah siapa pun yang terpilih, saya akan tetap seperti ini juga.” Rasa percaya yang sudah berada pada level 0 ini, tentu sangat “berbahaya” bagi seorang pemimpin. Sebab, tak ada satu keberhasilan tanpa kepercayaan. Trust is the key to success.
Masyarakat menilai, sosok pemimpin yang didambakan hampir tidak ada lagi. Bersikap adil, jujur, bijaksana, adalah kriteria yang sepertinya hanya akan didapatkan jika bermimpi di siang hari. Lantas, dimanakah masyarakat Aceh harus mencari pemimpin masa depan yang tentu memiliki kriteria di atas?
Dalam satu pengajian, Ayah, nama panggilan untuk Tgk M Amin (Pimpinan Dayah Raudhatul Ma’arif, Cot Trueng, Aceh Utara) bercerita: “Jika anda kehilangan tongkat yang anda gunakan untuk mengarahkan Unta berjalan, maka carilah dalam Alquran. Sungguh anda akan menemukannya di sana,” katanya. Tongkat saja ada dalam Alquran, apalagi pemimpin. Tapi kenyataan hari ini, Alquran belum dijadikan rujukan untuk itu.
Dewasa ini hampir siapa saja bisa jadi pemimpin. Modalnya, peng; membeli dukungan. Beberapa hari yang lalu, di koran ini, Gam Cantoi juga memaparkan tentang kisah sukses memenangkan pilkada yaitu dengan membeli suara. Setelah mendapat banyak suara, akhirnya jadi jawara. Tibalah giliran mengembalikan modal yang sudah pernah di investasikan.
Keinginan untuk menjadi pemimpin, mulai dari aparat desa, hingga Presiden adalah lahan bisnis yang sangat subur dan perlu “digalakkan.” Walaupun, masih tesisa satu dua orang lagi yang menganggap menjadi pemimpin itu bukanlah lahan bisnis, tapi amanah dari rakyat, yang berarti titipan dari Allah SWT.
Dari sebuah status seorang kawan yang saya baca di facebook, kekhawatirannya (lelucon) jika budaya kita direnggut oleh negeri sebelah mata. Saat ini yang sedang populer dengan negeri perenggut budaya. Lantas, budaya apa yang akan direnggut mereka? Tak lain dan tak bukan adalah budaya korupsi.
Masih dari status tersebut, sipemilik status menyarankan pemerintah untuk sesegera mungkin mendaftarkan budaya leluhur yang sangat kita agungkan saat ini kepada badan UNESCO. Jika saja sedikit terlambat, anak cucu kita tidak akan sempat menikmati warisan budaya tersebut. Tentu ini sangat disayangkan. Semoga saja pada saat kampanye nanti, semua kandidat memiliki program untuk menyelamatkan budaya ini.
Jejak Abu Nawas
Alkisah, suatu hari ayah Abu Nawas mengalami sakit yang sangat berat. Raja khawatir, jika ayah Abu Nawas meninggal, maka tidak ada yang bisa menggantikan posisinya sebagai qadhi (pengadil). Dan, kekhawatiran raja akhirnya memang terjadi. Ayah Abu Nawas meninggal dunia.
Raja tidak punya banyak pilihan untuk mencari pengganti ayah Abu Nawas. Ia berpendapat: Pakiban u meunan minyeuk, pakiban ku meunan aneuk (Bagaimana kelapa demikian pula minyaknya, bagaimana ayah maka akan begitu pula anaknya-ed). Karena itu, Raja pun kemudian menetapkan Abu Nawas sebagai calon tunggal untuk menggantikan posisi yang ditinggalkan ayahnya, yang semasa hidupnya menjadi qadhi yang sangat adil, jujur, dan bijaksana.
Akhirnya raja mengutus para prajurit untuk menjemput Abu Nawas di kediamannya untuk dihadapkan kepada raja. Tentu saja untuk dimintai kesediaan Abu Nawas menggantikan ayahnya. Sesampai di istana, ternyata Abu Nawas sudah tidak seperti dulu lagi. Abu Nawas sudah gila.
Melihat kenyataan Abu Nawas yang sudah gila, akhirnya raja membatalkan untuk menyerahkan jabatan qadhi kepadanya. Timbul pertanyaan, apakah benar Abu Nawas gila karena ditinggal ayahnya? Tentu tidak. Semasa masih hidup, ayahnya berpesan, janganlah jadi pemimpin. Karena itulah Abu Nawas berpura-pura gila.
Beranjak dari kisah di atas, terlepas apakah dongeng atau bukan, tentu ada pesan yang dapat kita ambil. Dan kondisi saat ini, hampir semua kita meusenoh-seunoh untuk menjadi pemimpin, termasuk di Aceh yang belakangan disibukkan dengan kegiatan-kegiatan politik menjelang Pilkada.
Inilah fenomena zaman yang sudah berubah. Terkait masalah ini Rasulullah SAW pernah bersabda: “Demi Allah, saya tidak akan menyerahkan suatu jabatan kepada orang yang meminta untuk diangkat dan tidak pula kepada orang yang berharap-harap untuk diangkat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Berkaca pada sahabat
Dulu, di zaman sahabat, mereka saling bertolak-tolakan menjadi pemimpin. Dalam sebuah riwayat dijelaskan, Abu Bakar Siddiq yang diminta menggantikan Rasululllah sebagai khalifah, malah mengusulkuan Umar, dengan alasan Umar adalah seorang yang kuat. Tetapi Umar menolak, sebaliknya malah mengusulkan Abu Bakar. Para sahabat memandang jabatan adalah momok yang sangat menakutkan. Mereka berusaha menghindarinya, tentu sebatas kewajaran dan masih mungkin dihindari.
Kenyataan hari ini, orang-orang berlomba-lomba menjadi pemimpin. Dengan dalih, karena panggilan hati, atau karena diminta oleh rakyat. Entah rakyat mana yang memintanya untuk menjadi pemimpin. Inilah basa-basi klasik untuk mengelabui siapa saja, bahwa keinginannya untuk menjadi pemimpin bukan karena ambisi.
Jika ditelaah lebih dalam, penolakan para sahabat didasari atas hadist Rasulullah tentang betapa beratnya menjadi pemimpin. “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya.” Didalam hadis yang lain, sebagaimana disampaikan oleh abu hurairah, “kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan itu adalah penyesalan di hari Kiamat, nikmat di awal dan pahit di ujung.” (HR Bukhari).
Berdasarkan hadis-hadis yang ada, lebih banyak menggambarkan pahitnya menjadi pemimpin, dibandingkan manisnya. Semoga saja, pada pesta demokrasi yang tidak lama lagi akan digelar, dapat membuka mata dan hati kita untuk memilih pemimpin yang tidak berambisi karena jabatan, melainkan karena amanah dari rakyat, yang berarti titipan dari Allah SWT. Wallahu’alam.
* Zubir, Santri Dayah Raudhatul Ma’arif, Cot-Trueng, Aceh Utara, dan saat ini mengabdi sebagai Guru di Sekolah Sukma Bangsa, Lhokseumawe.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda