Rabu, 11 April 2012

Letusan Gunung Tambora, Hari Jadi Dompu Bou

TAMBORA
Menjulang tinggi dan gagah dalam diam…


Aku tengah membayangkan, seandainya aku berada di kaki gunung bersejarah itu sekarang.



Mungkin sambil duduk santai, kaki menjuntai di balai, mengunyah singkong goreng di beranda rumah warga setempat di Desa Calabai, yang masih termasuk wilayah Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat.




Desa kecil penghasil kayu di sebelah barat gunung itu merupakan pintu masuk pos pertama jalur aman pendakian ke puncak Gunung Tambora, gunung yang sebagian wilayahnya pada sisi selatan hingga barat laut termasuk dalam wilayah Kabupaten Dompu dan sebagian lain dari sisi timur hingga utara termasuk dalam wilayah Kabupaten Bima.



Aku bukan pendaki gunung, tapi gunung memang selalu menyimpan eksotisme mistis yang meski sulit untuk dijelaskan, senantiasa menarik untuk diperbincangkan.



Menatap angkuh puncaknya yang diselimuti berarak awan putih mengias birunya langit, aku tak dapat menyembunyikan kekaguman menyaksikan betapa kokohnya leher hingga terus semenurun lereng gunung dengan tinggi 2.851 meter, namun pernah menjulang hingga 4.300 meter dan tercatat sebagai puncak tertinggi di Indonesia pada masanya. Bandingkan dengan Puncak Jayawijaya di Papua yang memegang rekor itu sekarang, ternyata ‘hanya’ setinggi 3.050 meter di atas permukaan laut.





Apa kabar, Dompu cerah hari ini?




Semoga seperti Jakarta saat kuguratkan tulisan ini.



Kubayangkan, Tambora bergeming demikian tenang…



Kontras sekali dengan yang terjadi dua ratus kurang tiga tahun lalu…



Siapa pernah menyangka, di balik ketenteraman suasana sejuk di kaki gunung ini, tersimpan selaksa kisah yang pernah mengguncang dunia!



Saat bencana alam paling mengerikan terjadi di sini…



Dan tepat pada hari ini…






LETUSAN GUNUNG TAMBORA



11 April 1815, 197 tahun yang lalu…



Barangkali hampir tak ada yang pernah membayangkan, gunung purba itu pernah meletus begitu dahsyat, bahkan menjadi letusan terdahsyat yang tercatat dalam sejarah peradaban umat manusia!



Kedahsyatan letusannya setara dengan 1.000 Megaton ledakan TNT, dan hanya kalah oleh letusan mahadahsyat Gunung Toba yang mencapai skala 8 dari 8 pada indeks VEI (Volcanic Explosivity Index), lebih kurang 74.000 tahun lalu, yakni jauh pada masa pra-sejarah.




Menggeram mulai awal April, dan mulai meletus kecil sejak tanggal 5 April, puncak letusan Gunung Tambora terjadi pada 10-11 April 1815, dimulai malam hari pukul 19.00 tanggal 10, dan terus-menerus meletus hingga mengguncangkan bumi keesokan harinya pada skala 7 dari tertinggi 8 pada indeks VEI. Kekuatan ledakannya bahkan tercatat empat kali lebih besar dari letusan Gunung Krakatau tahun 1883!



Menyemburkan muatan tefrit hingga 1.6 × 1011 meter kubik, dan 100 kilometer kubik piroklastik trakiandesit dengan perkiraan massa 1,4×1014 kilogram, dentuman suara ledakannya terdengar hingga radius 2600 kilometer, mulai dari Sumatera hingga Makassar dan Ternate, sebagaimana dilaporkan menggetarkan Surabaya menurut catatan buku harian sejumlah warga Belanda, hingga menggema ke bagian barat laut benua Australia.



Letusan hebat yang bertubi-tubi menghasilkan endapan aliran piroklastik hingga 20 kilometer jauhnya, memuntahkan magma hingga 100 kilometer kubik, dan melontarkan abu dan debu vulkanik sejauh 1300 kilometer hingga Jawa Barat dan Batavia di arah barat dan Sulawesi Selatan di utara, dengan volume hingga 400 kilometer kubik, dilepaskan ke angkasa hingga menembus lapisan stratosfer pada ketinggian 44 kilometer di atas permukaan tanah.




Selain itu, getaran gempa yang mengguncang Sumbawa juga menggelegakkan samudera dan menggolakkan lautan, menimbulkan tsunami setinggi hingga 4 meter bermula dari pesisir Sanggar pada pukul 10 malam pada tanggal 10 April, menerjang pantai di Bima, dan terus bergulung-gulung hingga sejauh 1200 kilometer, menjelang tengah malam telah menghempas Besuki di Jawa Timur hingga menyapu tepian pantai Kepulauan Maluku dengan tinggi dinding air bah masih setinggi 2 meter!



Letusan Gunung Tambora juga telah memusnahkan nyaris seluruh warga dari tiga kerajaan sekaligus, yakni Kerajaan Sanggar yang berjarak 35 kilometer di sebelah timur, Kerajaan Pekat yang terletak 30 kilometer di sebelah barat, dan Kerajaan Tambora yang terletak 25 kilometer dari gunung tertinggi di pulau Sumbawa, dan pernah menjadi yang tertinggi di Indonesia.



Tercatat jumlah korban mencapai 71.000 jiwa, dan yang selamat hanya sekitar 200 jiwa saja! Sekitar 12.000 tewas secara langsung akibat letusan gunung berapi, sementara puluhan ribu sisanya menderita dampak susulan yang tak kalah mengerikan dari bencana mahapralaya tersebut, meninggal karena kelaparan, tercemarnya air minum oleh abu vulkanik, ketiadaan bahan makanan, dan terjangkiti wabah penyakit mengenaskan. Sedikitnya 38.000 orang tewas di Sumbawa dan 10.000 lainnya menyusul di Lombok.



Dalam artikel berjudul Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermaths, Bernice de Jong Boers bahkan menyebutkan bahwa letusan Gunung Tambora diduga menjadi pemicu pecahnya epidemi kolera untuk pertama kalinya ke seluruh dunia.




Letusan Gunung tambora juga menyebabkan perubahan iklim dunia.



Selama seminggu lebih, langit di atas Sumbawa hingga radius 600 kilometer dari Gunung Tambora berselimut gelap pekat. Awan mendung masih meredupkan sinar matahari selama berbulan-bulan. Suhu bumi juga berangsur mendingin, bahkan terjadi anomali cuaca seperti di New England, Amerika Serikat, salju turun pada bulan Juni, dan udara beku meruyak pada Juli hingga Agustus, hingga terjadi sungai es di Pennsylvannia.



Pada tahun berikutnya, yakni 1816, arakan abu vulkanik belum berhenti mengelilingi dunia, disebutkan telah meliputi seluruh Eropa dan Amerika Utara, menyebabkan banyak kematian ternak serta kegagalan panen, serta ratusan ribu jiwa manusia meninggal akibat epidemi dan kelaparan.



Tahun penuh kesuraman itu dikenal di seluruh dunia dengan sebutan The Year Without Summer atau Tahun Tanpa Musim Panas.






Beginilah kira-kira gambaran suasana mencekam saat Gunung Tambora meletus, kemarin dan hari ini, 10-11 April 1815, 197 tahun lalu…







(Gambar: Letusan Tambora 1815 karya Harlin & Harlin di www.smithsonianmag.com)








Untuk lebih menangkap atmosfir, dan jika boleh dikatakan mendramatisir, suasana hiruk-pikuk dan menegangkan selama beberapa hari yang berat itu, simak pula penuturan langsung para saksi mata peristiwa besar tersebut, sebagaimana dimuat dalam ”Transactions of the Batavian Society” Vol VIII, 1816, dan dan ”The Asiatic Journal” Vol II, Desember 1816, dan dilansir oleh indocropcircles.wordpress.com sebagai berikut:



Sumanap (Sumenep), 10 April 1815



Sore hari tanggal 10, ledakan menjadi sangat keras, salah satu ledakan bahkan mengguncang kota, laksana tembakan meriam. Menjelang sore keesokan harinya, atmosfer begitu tebal sehingga harus menggunakan lilin pada pukul 16.00. Pada pukul 19.00 tanggal 11, arus air surut, disusul air deras dari teluk, menyebabkan air sungai naik hingga 4 kaki dan kemudian surut kembali dalam waktu empat menit.




Baniowangie (Banyuwangi), 10 April 1815



Pada tanggal 10 April malam, ledakan semakin sering mengguncang bumi dan laut dengan kejamnya. Menjelang pagi, ledakan itu berkurang dan terus berkurang secara perlahan hingga akhirnya benar-benar berhenti pada tanggal 14.



Fort Marlboro (Bengkulu), 11 April 1815

Suaranya terdengar oleh beberapa orang di permukiman ini pada pagi hari tanggal 11 April 1815. Beberapa pemimpin melaporkan adanya serangan senjata api yang terus-menerus sejak fajar merekah. Orang-orang dikirim untuk penyelidikan, tetapi tidak menemukan apa pun.
Suara yang sama juga terdengar di wilayah-wilayah Saloomah, Manna, Paddang, Moco-moco, dan wilayah lain. Seorang asing yang tinggal di Teluk Semanco menulis, sebelum tanggal 11 April 1815 terdengar tembakan meriam sepanjang hari.



Besookie (Besuki, Jawa Timur), 11 April 1815



Kami terbungkus kegelapan pada 11 April sejak pukul 16.00 sampai pukul 14.00 pada 12 April. Tanah tertutup debu setebal 2 inci. Kejadian yang sama juga terjadi di Probolinggo dan Panarukan, terus sampai di Bangeewangee (Banyuwangi) tertutup debu setebal 10-12 inci. Lautan bahkan lebih parah akibat dari letusan tersebut. Suara letusan terdengar sampai sejauh 600-700 mil.




Grissie (Gresik, Jawa Timur), 12 April 1815



Pukul 09.00, tidak ada cahaya pagi. Lapisan abu tebal di teras menutupi pintu rumah di Kradenan. Pukul 11.00 terpaksa sarapan dengan cahaya lilin, burung-burung mulai berkicau mendekati siang hari. Jam 11.30 mulai terlihat cahaya matahari menerobos awan abu tebal. Pukul 05.00 sudah semakin terang, tetapi masih tidak bisa membaca atau menulis tanpa cahaya lilin.




Makasar, 12-15 April 1815



Tanggal 12-15 April udara masih tipis dan berdebu, sinar matahari pun masih terhalang. Dengan sedikit dan terkadang tidak ada angin sama sekali. Pagi hari tanggal 15 April, kami berlayar dari Makassar dengan sedikit angin. Di atas laut terapung batu-batu apung, dan air pun tertutup debu. Di sepanjang pantai, pasir terlihat bercampur dengan batu-batu berwarna hitam, pohon-pohon tumbang. Perahu sangat sulit menembus Teluk Bima karena laut benar-benar tertutup.






Selain itu, dalam salah satu memoarnya, Gubernur Jenderal Britania Raya yang berkuasa di Jawa 1811-1816, Sir Thomas Stamford Raffles yang terkenal itu, pendiri Singapura, dan penulis buku babon History of Java, menulis kesaksiannya sebagai berikut:



Letusan pertama terdengar di pulau ini pada sore hari tanggal 5 April, mereka menyadarinya setiap seperempat jam, dan terus berlanjut dengan jarak waktu sampai hari selanjutnya. Suaranya, pada contoh pertama, hampir dianggap suara meriam; sangat banyak sehingga sebuah detasemen tentara bergerak dari Djocjocarta, dengan perkiraan bahwa pos terdekat diserang, dan sepanjang pesisir, perahu-perahu dikirimkan pada dua kesempatan dalam pencarian sebuah kapal yang semestinya berada dalam keadaan darurat.



(Laporan Thomas Stamford Raffles)



Menindaklanjuti penyelidikan, diutusnya perwira kepercayaannya, Letnan Philips, untuk berlayar langsung ke Sumbawa dan menyaksikan dari dekat apa yang sebenarnya terjadi di sana, beberapa hari setelahnya:



Dalam perjalananku menuju bagian barat pulau, aku hampir melewati seluruh Dompo dan banyak bagian dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran terhadap penduduk yang berkurang memberikan pukulan hebat terhadap penglihatan. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda banyak lainnya telah terkubur. Desa hampir sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah rubuh, penduduk yang selamat kesulitan mencari makanan. Sejak letusan, diare menyerang warga di Bima, Dompo, dan Sang’ir, yang menyerang jumlah penduduk yang besar. Diduga penduduk minum air yang terkontaminasi abu, dan kuda juga meninggal, dalam jumlah yang besar untuk masalah yang sama.




(Laporan Letnan Philips, diperintahkan Sir Stamford Raffles untuk pergi ke Sumbawa)





Aku menyeruput teh manis panas yang sudah hangat…



Sejenak aku menghela nafas dan menenteramkan pikiranku…



Bersamaan dengan terdengarnya adzan Ashar dari kejauhan…



Sudah berapa jam sejak aku mulai menulis? ^^;






HARI JADI DOMPU BOU



Sejarah itu seperti harta karun, tentu saja bagi mereka yang bisa mengerti dan menghargai tinggi nilainya. Menggali sejarah bagai menemukan harta karun peradaban yang terpendam. Dari sejarah, kita bisa belajar tentang arti kebesaran dan kejayaan hidup di masa lalu, hingga kehancuran sehancur-hancurnya, baik oleh bencana alam maupun ulah tangan manusia.



Namun bahkan dari balik puing-puing yang telah porak-poranda, selalu ada hikmah yang bisa dijadikan cermin kejujuran serta buah pelajaran, sebagaimana tunas baru akan muncul kembali serta perlahan berkecambah, hingga melahirkan tanaman baru di musim baru, selama musim semi masih akan datang setelah musim dingin, sejarah selalu berulang dan kehidupan akan mencari jalan untuk melestarikan keberlangsungannya.



Seperti romantika tiga kerajaan Sanggar, Pekat, Tambora, yang musnah oleh letusan, jauh sebelum ketiganya terbentuk, di kaki gunung Tambora pernah berdiri kerajaan tertua di belahan timur Nusantara, Dompu Ntoi atau Dompu Lama. Setelah murka Tambora lebih kurang dua ratus tahun silam, kini bermeter-meter di atas rekah lapisan bumi yang sama yang telah tertutup abu tebal piroklastik dan tanah yang baru, telah dibangun kembali peradaban baru yakni Dompu Bou atau Dompu Baru.



Sejarah kelahiran Dompu Bou telah mengundang minat banyak pemerhati, terutama dikaitkan dengan penetapan Hari Jadi Dompu.




Hampir semua pihak kini sepakat, yang disebut dengan Dompu sekarang adalah Dompu Bou, yang lahir setelah letusan Gunung Tambora. Namun untuk menetapkan kapan tanggal Hari Jadi Dompu sendiri ternyata bukan satu hal yang mudah.



Berdasarkan informasi komprehensif yang diperoleh dari humasdompu.wordpress.com, diperoleh kronologis penetapan Hari Jadi Dompu lebih kurang sebagai berikut:



Telah diselenggarakan banyak seminar dan diskusi yang intensif dan menarik sepanjang kurun hampir dua dekade, tercatat sejak pemerintahan Bupati Dompu Drs. H. Umar Yusuf, M.Sc tahun 1989-1994, hingga periode pertama pemerintahan Bupati Dompu H. Abubakar Ahmad, S.H., tahun 2000-2005.



1. Periode Pemerintahan Bupati Dompu Drs. H. Umar Yusuf, M.Sc. (1989-1994)



Setelah sejumlah pembicaraan serius tentang perlunya mencari dan menetapkan Hari Jadi Dompu, semula hampir semua pihak menyepakati dan menetapkan tanggal 12 September 1947 sebagai Hari Jadi Dompu, didasarkan pada tanggal pengangkatan Sultan Dompu yang terakhir, yaitu Sultan M. Tajul Arifin Sirajuddin, sebagai Kepala Daerah Swapraja dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meski sempat diperingati untuk pertama kalinya pada tanggal 12 September 1993, namun mencuatnya perdebatan membuat penetapan tanggal 12 September 1947 sebagai Hari Jadi Dompu mentah kembali.



2. Periode I Pemerintahan Bupati Dompu H. Abu Bakar Ahmad, S.H. (2000-2005)




Lama setelahnya, baru pada periode ini penelusuran dan pembahasan Hari Jadi Dompu diangkat kembali ke permukaan. Pada hari Rabu, tanggal 15 Agustus 2001, di Gedung Sama Ngawa, Dompu, diadakan Seminar Sehari yang diikuti oleh berbagai kalangan masyarakat, mulai dari birokrat, tomas, toga, hingga tokoh pemuda, baik yang ada di Dompu maupun di luar Dompu, dengan tujuan untuk mencari, menelusuri, merumuskan dan menetapkan Hari Jadi Dompu.



Untuk menunjukkan keseriusan, Bupati Dompu mengeluarkan Keputusan Bupati Dompu Nomor 172 tahun 2001 membentuk Tim Perumus Hari Jadi Dompu. Tim ini bekerja dengan menggali berbagai dokumen dan mendengarkan berbagai informasi, hingga akhirnya merumuskan dan menetapkan Hari Jadi Dompu jatuh pada hari Jum’at tanggal 24 September 1545, atau bertepatan dengan tanggal 8 Rajab 952 H. Dasar penetapannya adalah tanggal pelantikan Sultan Dompu Pertama, yakni Sultan Syamsuddin pada tahun 1545.



Meski demikian, masih banyaknya pihak yang tidak setuju, membuat Bupati Dompu menunda penetapan Hari Jadi Dompu sambil menunggu dan mencari data yang lebih akurat lagi.



Setelah berlalu beberapa waktu tanpa pembahasan, datang usulan dan masukan dari berbagai kalangan masyarakat Dompu berupa konsep atau naskah sebagai bahan acuan untuk mencari dan menetapkan Hari Jadi Dompu.



1. Konsep M. El. Hayyat Ong (H. Muhammad Yahya)




Yang bersangkutan mengusulkan tanggal 22 Januari sebagai Hari Jadi Dompu, dimana tanggal tersebut bertepatan dengan pemindahan kerangka jenazah Sultan Muhammad Sirajuddin (Sultan Manuru Kupa) dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, ke Kabupaten Dompu.



2. Konsep H.M. Djafar Ahmad



Yang bersangkutan mengusulkan tanggal 12 September 1947 dan tanggal 24 September 1545 sebagai Hari Jadi Dompu, dengan dasar pemikiran pada 12 September 1947 Residen Timur dan daerah taklukannya menetapkan Dompu berpemerintahan sendiri sebagai Zelfbestur, sementara 24 September 1545 sebagaimana konsep penetapan pada periode pemerintahan Bupati Dompu Umar Yusuf, merupakan tanggal dilantiknya Sultan Syamsuddin sebagai Sultan pertama Dompu.



3. Konsep Drs. M. Ilyas Salman dan kawan-kawan.



Tim ini tidak menetapkan tanggal, bulan dan tahun yang pasti, melainkan hanya mengutarakan sejumlah peristiwa sejarah yang dipandang penting sebagai alternatif untuk dipilih sebagai Hari Jadi Dompu, antara lain:




a. Tahun 1360 sebagai tahun pengucapan Sumpah Palapa oleh Mahapatih Gajah Mada yang bersumpah mempersatukan semua wilayah Nusantara di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Dalam sumpah tersebut, disebutkan salah satu negara yang akan ditaklukan adalah kerajaan Dompo (Dompu).



b. Tanggal 5 Mei 1667 berdasarkan tanggal penandatanganan Perjanjian Bongaya antara Sultan Goa, yaitu Sultan Hasanuddin, dengan VOC, yang menyatakan bahwa Makassar harus melepaskan kekuasaan politiknya terhadap Pulau Sumbawa, dimana termasuk di dalamnya, Dompu.



c. Tanggal 10 Oktober 1674, berdasarkan tanggal surat resmi pertama Raja Dompu kepada Jenderal VOC di Batavia, memuat berita kunjungan resmi Kapten Maros sebagai utusan VOC.



d. Tanggal 22 Juli 1675, berdasarkan tanggal kontrak antara Kerajaan Sumbawa, Dompu, dan Tambora terkait batas wilayah.



e. Tanggal 30 September 1748, berdasarkan tanggal penandatanganan kontrak perbatasan antara Kerajaan Dompu dan Tambora.

f. Tanggal 9 Juli 1792, berdasarkan tanggal perjanjian politik kontrak adat, antara rakyat dan raja tentang kewajiban dan hak kedua belah pihak.g. Tanggal 27 Desember 1822 sebagai tanggal munculnya resolusi resmi yang dikeluarkan oleh pemerintahan Hindia Belanda yang memuat pengaturan bahwa Raja Dompu memiliki kekuasaan di samping Sultan Bima.


Beberapa tahun berlalu, kesepakatan masih belum dihasilkan.



Hingga akhirnya, Bupati Dompu mempunyai gagasan untuk meminta bantuan kepada salah seorang ahli sejarah nasional asal Dompu yang tinggal di Bandung, yakni Prof. Dr. Helyus Syamsuddin, Ph.D (Guru Besar pada IKIP Bandung).



Prof. Dr. Helyus Syamsuddin, Ph.D hadir di Dompu untuk menghadiri seminar bersama Tim Perumus Hari Jadi Dompu yang saat itu dipimpin oleh Ketua Komisi E DPRD Dompu, H. Yusuf Djamaluddin, membahas penetapan Hari Jadi Dompu di Gedung DPRD Dompu, pada hari Jum’at tanggal 18 Juni 2004.



Pada seminar yang dihadiri pula oleh Bupati Dompu dan sejumlah Toga, Toma, tokoh pemuda, tokoh wanita, serta berbagai komponen masyarakat tersebut, setelah melalui pembahasan yang cukup panjang dan alot, akhirnya pada hari Sabtu, tanggal 19 Juni 2004, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Dompu menyetujui penetapan Hari Jadi Dompu jatuh pada hari Selasa, tanggal 11 April 1815, bertepatan dengan tahun Islam yakni 1 Jumadil Awal 1230 H.

Keputusan tersebut kemudian dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 18 Tanggal 19 Juni 2004.

Dalam makalah yang berjudul “HARI JADI DAERAH DOMPU, SEBUAH USUL ALTERNATIF” dipaparkan sejumlah argumentasi antara lain bahwa pada ilustrasi sejarah Indonesia mungkin bermanfaat untuk ditambahkan bahwa peristiwa bencana alam, politik, atau peperangan, dapat saja dijadikan patokan-patokan sejarah yang amat penting. Sejarah Indonesia di pulau Jawa misalnya, mencatat malapetaka yang ditimbulkan oleh letusan dahsyat Gunung Merapi di Jawa Tengah, telah memaksa pusat pemerintahan Mataram Kuno (Mataram Hindu) untuk berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur di awal abad ke-10, mengakhiri era Dinasti Sanjaya dan Syailendra, beralih ke Dinasti Isyana yang didirikan oleh Mpu Sindok.



Dianalogikan dengan hal tersebut, ketika menggambarkan malapetaka yang menimpa daerah Dompu-Bima, mengutip tulisan J.Olivier (1816), ditemukan kunci jawaban mengapa istana Dompu yang dahulu berada di Bata (Istana Doro Bata) ditinggalkan, yakni dikarenakan tertimbun abu vulkanik hingga tak lagi bisa dihuni.



Istana Bata merupakan sebuah situs sejarah yang penting di Dompu, sebagai situs istana tua Dompu (Asi Ntoi) yang terletak di selatan Sorina’e, sekarang Kelurahan Kandai Satu, Kecamatan Dompu, kemudian dipindahkan ke sebelah utara sungai. Di sinilah kemudian didirikan istana yang baru (Asi Bou), yang terletak di Masjid Raya sekarang, yakni Masjid Agung Baiturrahman, Dompu.

Perpindahan itu terjadi karena letusan Gunung Tambora.

Selain terjadi perpindahan dari istana lama ke istana baru, pemerintahan Dompu juga pindah dari selatan sungai ke sebelah utara sungai (Sorina’e). Berdasarkan argumentasi tersebut, hal itu dapat dijadikan suatu simbol kelahiran baru pemerintahan, meskipun Sultan Dompu yang memerintah pada saat itu masih pemerintah yang sama sebelum dan setelah letusan, yakni Sultan Abdul Rasul (1808-1840).



Di sinilah dapat terlihat perubahan dan keberlanjutan. Sultan Abdul Rasul kelak mendapat gelar “Sultan Ma Ntau Bata Bou”.



Argumentasi berikutnya, dengan meletusnya Gunung Tambora, maka keberadaan tiga kerajaan sekitar Tambora menjadi luluh lantak, dengan menyisakan penduduk hanya sekitar 200 orang dari puluhan ribu jiwa. Tanah yang tidak berpenduduk dari Kerajaan Pekat dan sebagian dari Kerajaan Tambora kemudian dikuasai oleh Sultan Dompu untuk memperluas wilayah kekuasaannya.

Dengan kedua alasan tersebut, yakni berpindahnya Asi Ntoi ke Asi Bou serta perluasan wilayah kesultanan dengan memasukkan wilayah bekas Kerajaan Pekat dan Kerajaan Tambora ke Kesultanan Dompu Bou, diperoleh dasar pertimbangan kuat secara demografis maupun sosiologis.


Untuk menambah jumlah penduduk, Dompu kemudian menerima migrasi penduduk dari kerajaan sekitarnya, khususnya dari wilayah Kerajaan Bima (Mbojo), hingga terbentuklah komunitas Bima di Dompu. Atas persetujuan Sultan Dompu dan Bima, didatangkan kolonisasi rakyat (Pembojong) dari Bima dengan syarat bahwa rakyat itu kemudian menjadi rakyat Kerajaan Dompu. Bertambahlah jumlah kampung dan penduduk Dompu, antara lain menghuni Kampung Bolonduru, Bolo Baka, Monta Baru, Rasana’e, Buncu, dan lain-lain.

Bagaimanapun, Dompu Ntoi sebelum Tambora meletus dan Dompu Bou setelah Tambora meletus adalah Dompu yang satu, yang saat ini telah memiliki jati diri sebagai wilayah otonomi seperti daerah lainnya di Indonesia. Maka dengan semangat persatuan dan kesatuan, diperolehlah kesamaan persepsi dan kesepakatan penetapan Hari Jadi Dompu jatuh pada tanggal 11 April 1815 atau bertepatan dengan 1 Jumadil Awal 1230 H, sebagai tanggal puncak terjadi letusan Gunung Tambora, yang menandai perubahan dan keberlanjutan kehidupan penduduk di Dompu.Demikianlah rangkaian sejarah dan runtutan kronologi peristiwa mulai dari Letusan Gunung Tambora hingga penetapan Hari Jadi Dompu Bou berdasarkan letusan Gunung Tambora.—Tak dirasa, hari telah bergulir semakin sore.Sebelum langit memerah dan senja kian merekah…Perkenankan saya mengucapkan:SELAMAT HARI JADI ke-197, DOMPU!!! ^____________^;vSemoga Allah SWT memberkahi kita semua dan semakin meningkatkan kemakmuran negeri dan kesejahteraan warga Dompu pada khususnya, memajukan Kepulauan Nusa Tenggara dan belahan timur Nusantara pada umumnya, dan merahmati seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia, amiiin…Dari Dompu untuk Indonesia,Dhimas Wisnu Mahendra :)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda