Rabu, 11 April 2012

Jejak Sejarah Sulit Terlacak

DARI buku karya Supali Kasim yang berjudul : Menapak Jejak Sejarah
Indramayu, dan diterbitkan Framepublishing Bantul DIY, tampak bahwa
Indramayu menyimpan catatan sejarahnya sendiri. Seperti halnya
wilayah lain di Indonesia, jejak sejarah pasti ada. Soal kebenaran
serta akurasi isi sejarah yang diungkap ke hadapan publik, kembali
kepada publik untuk menilainya. Juga ketika sejarah Indonesia pada
umumnya belum mampu melepas dari ikatan kuat yang bernama mistis,
sejarah Indramayu juga mengalami hal serupa. Ketidakjelasan terasa
menguat pada tokoh sentral yang dibincangkan. Pangeran Wiralodra
misalnya. Asal usul yang variatif dan penuh spekulatif tak ayal
menjadikan sejarah Indramayu bagai terhalang kabut. Kabut itu terasa
begitu tebal untuk dikuak sejarawan dan budayawan Indramayu, sehingga
keberadaan pangeran berwajah tampan itu masih seperti misteri.

Simak di halaman 165 Bab VIII yang diberi titel Dinasti Wiralodra
dalam Tujuh Turunan. Supali Kasim bahkan menulis, “Keremangan memang
sejak awal menghadang penelisikan riwayat masa lalu dari jatidiri
ayahnya, Gagak Singlodra. Sumber mengenai Wiralodra pun hanya tegas
disebutkan dalam naskah tradisional Babad Dermayu ataupun Serat Babad
Dermayu”. Juga dapat disimak pada Bab VII yang bertajuk Tokoh-tokoh
Lain dalam Perspektif Sejarah. Supali menulis, “Wiralodra dan Endang
Dharma dua nama yang disebut dalam historiografi tradisional menjadi
pemeran utama berdirinya Indramayu. Pasangan ini di satu sisi disebut
sebagai suami istri yang kemudian menurunkan dinasti Wiralodra. Tapi
di sisi lain disebut tidak ada hubungan sama sekali karena Endang
Dharma menceburkan diri ke sungai Cimanuk dan berpesan agar namanya
diabadikan menjadi nama daerah. Akan tetapi itu hanya strategi Endang
Dharma agar keberadaannya sebagai mata-mata Kerajaan Cirebon tidak
diketahui musuh, lantas pernikahan dengan Wiralodra pun berlangsung.”

Dari dua tokoh penting dengan data yang saling bertolak belakang,
Supali Kasim mencoba merangkai jejak sejarah daerahnya, kendati ia pun
tidak bisa mengeliminir kuatnya unsur mistis bahkan cerita lisan yang
lebih tepat disebut sejare-sejare (katanya). Antagonisme dalam
penulisan buku ini terbukti tidak menyurutkan langkah Supali Kasim
untuk menguak lebih jauh jejak sejarah daerah yang didiaminya sejak
kecil. Ia bahkan bagai mengajak sejarawan lain untuk masuk ke
persoalan. Artinya mengungkap sesuatu yang belum diungkap dari sejarah
Indramayu. Maka bagi saya, keberanian Supali Kasim yang bukan
sejarawan kampus ini merupakan kehebatan tersendiri yang layak
diacungi jempol. Sebagai sejarawan kampung, Supali ingin agar
Indramayu tidak semata-mata dikenal dengan banyaknya jumlah perempuan
penghibur lelaki yang bertebaran di berbagai kota Indonesia.
***
MINGGU pagi 1 Januari 2012, saya dihadiahi sebuah buku sejarah dengan
gambar sampul Batik Paoman Indramayu. Saya tersanjung karena buku itu
diserahkan langsung oleh penulisnya. Berkendara motor gede, Supali
Kasim yang santun itu mengatakan, “Rencana membukukan sejarah daerah
asal saya sudah ada 10 tahun ke belakang. Tapi baru bisa sekarang.”
Tentu saja saya menyambut gembira atas hadirnya buku ini karena
penulisan sejarah merupakan review atas segala peristiwa yang
berlangsung ratusan tahun lalu untuk sebuah dokumentasi. Setidaknya
beragam versi sejarah yang selama ini kita kenal justru akan semakin
memperkaya tradisi keilmuan, minimal tradisi penulisan sejarah. Soal
nanti buku ini ditolak atau mendapat reaksi penolakan, berarti
dialektika sejarah masih punya tempat di hadapan pembaca.

Sepertinya bicara sejarah bagai bicara kemustahilan. Kuatnya
mistisisme dalam pemaparan sejarah yang beredar di beberapa daerah di
Nusantara, sehingga agak sulit memisahkan antara fisik dan fakta.
Sejarah sendiri kabarnya merupakan reportase seseorang yang bergiat
menuliskan peristiwa yang terjadi pada masanya. Akan tetapi di
Indonesia, peristiwa sejarah sering disampaikan melalui cerita lisan
sehingga diam-diam unsur tersebut masuk ke dalam sejarah tertulis.
Persoalannya apakah sejarah juga mengijinkan masuknya cerita lisan
sebagai sebuah metoda penulisan sejarah? Kedua, bila sejarah yang kita
terima saat ini merupakan modifikasi antara sejarah tulis dan sejarah
lisan; masih dibenarkankah secara akademis? Ketiga, cerita lisan yang
kelak diatasnamakan sejarah itu pasti memuat unsur magis dan mistis.

Tiga hal sebagaimana di atas itu terlihat pada buku karya Supali
Kasim. Meski ia memberi titel Menapak Jejak Sejarah Indramayu, menurut
saya masih kental dengan unsur magis dan mistis. Dengan demikian sulit
dibedakan sejarah, legenda, cerita lisan, dan rekayasa. Maklum adanya
kepentingan penguasa dalam penulisan sejarah, bahkan kuatnya
kepentingan itu tak pelak mengatur cara penulisan sejarah. Sekadar
ilsutrasi, tidak ada gambar raja dan keluarganya yang berwajah buruk
serta cacat. Semuanya dilukis indah, ganteng dan cantik serta
diberikan nuansa aura karismatik agar orang terpukau dan kagum. Tidak
ada pula gambar seorang raja yang lesu dan bingung tidak mampu
memecahkan persoalan. Yang ada ialah gambar raja saat memerintah, saat
menandatangani perjanjian dengan kerajaan lain, atau manakala ia
memperoleh penghargaan dari kerajaan lain dan atau dinobatkan sebagai
orang kehormatan ~lengkap dengan busana keagungannya. Lihat saja
gambar Pangeran Wiralodra yang begitu tampan karya seniman Indramayu
di tahun 2000-an. Bertubuh kekar dan berkumis, juga berwajah tampan.

Lalu bagaimana kita memaknai sejarah yang demikian? Akankah itu kita
abaikan atau kita semakin tidak peduli kepada sejarah yang
compang-camping itu? Kendati demikian dalam kegalauan jejak sejarah
itu, Supali Kasim dengan tekun mengumpulkannya ke dalam sebuah buku.
Kepala SD Negeri Gantar Kecamatan Haurgeulis Kabupaten Indramayu itu
mencoba menghadirkannya kepada Anda sebagai sajian sekaligus ingatan
bahwa sejarah (betapa pun mistisnya) pernah hidup dalam serta pernah
berkembang menjadi kemestian yang tidak tertolak. Bahwa sejarah
Indramayu yang kaya dengan kronik dan konflik itu justru layak
diangkat menjadi dokumentasi tertulis. Soal bagaimana masyrakat
Indramayu khususnya dan peminat sejarah Indonesia menandai buku ini,
semuanya kembali kepada Anda. Semuanya tergantung kepada kita
menempatkan sejarah dalam penggal kehidupan kita.

Alhasil buku jejak sejarah Indramayu Cetakan pertama Desember
2011,yang berisi xii + 222 halaman, ukuran 14 x 21 cm, ISBN :
978-979-9983-92-4, Penyelaras bahasa : Raudal Tanjung Banua, Desain
isi : Tri Prasetyo, Desain cover : Nur Wahida Idris, Gambar cover :
Batik Paoman itu terekam dalam ingatan kita jikalau ada keinginan
menguak ingatan itu, agaknya buku berukuran sedang dengan judul
Menapak Jejak Sejarah Indramayu ini mampu memberi spirit untuk
membincangkan sejarah secara proporsional. Semoga.***

Dadang Kusnandar

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda